Senin, 11 September 2023

POTRET PEREKONOMIAN INDONESIA DAN TANTANGAN KE DEPAN

POTRET PEREKONOMIAN INDONESIA 
DAN TANTANGAN KE DEPAN

AGUSSALIM 


Potret Perekonomian Terkini

Di tengah kondisi ekonomi global yang sulit dan menantang, pertumbuhan ekonomi Indonesia menguat di level 5,31 persen pada tahun 2022. Ini merupakan angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. Juga lebih kuat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasan. Dari sisi produksi, menguatnya pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh 19,87 persen, dan diikuti oleh sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh 11,97 persen. Kedua sektor ini bertumbuh kuat seiring dengan berakhirnya pandemi Covid-19 yang memungkinkan terjadinya normalisasi aktivitas ekonomi. Sedangkan dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi yang menguat didorong oleh nilai tukar perdagangan (terms-of-trade) yang positif dari ekspor komoditas dan pemulihan konsumsi rumah tangga dan swasta. Lonjakan harga batu bara dan minyak kelapa sawit sejak dimulainya perang Rusia-Ukraina telah menghasilkan penerimaan ekspor yang sangat besar. Bersamaan dengan itu, peningkatan permintaan domestik sejak akhir tahun 2021 telah menolong pemulihan sektor swasta, terutama UMKM yang sangat terpukul dan menderita di masa pandemi. 

Momentum ini terus berlanjut di awal tahun 2023, dimana meningkatnya penerimaan ekspor akibat kenaikan harga-harga komoditas dan tumbuhnya permintaan domestik telah mendukung pertumbuhan di atas 5 persen pada triwulan pertama dan kedua (Q1 dan Q2) tahun 2023. Di triwulan kedua 2023, ekonomi tumbuh sebesar 5,17 persen (y-on-y) melanjutkan tren positif di triwulan sebelumnya sebesar 5,04 persen (y-on-y). Jika ditarik lebih jauh ke belakang, tampak bahwa selama enam triwulan berturut-turut (terhitung sejak Q1-2022), perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen (y-on-y). Meski demikian, capaian ini masih berada di bawah tingkat pertumbuhan sebesar 6-8 persen yang diperlukan untuk mencapai status negara berpendapatan tinggi (high-income country) sebagaimana ditargetkan di dalam Visi Indonesia Emas 2045.

Pasca pandemi Covid-19, sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi, dan komunikasi telah menjadi pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2022, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu 1,01 poin persentase (pp) dari laju pertumbuhan sebesar 5,31 persen, diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor transportasi masing-masing menyumbang sebesar 0,73 pp dan 0,72 pp. Sektor informasi dan komunikasi menempati posisi keempat dengan kontribusi 0,48 pp. Tren ini berlanjut hingga paruh pertama 2023. Kondisi ini sejalan dengan lonjakan konsumsi yang sebagian besar dipicu oleh peningkatan mobilitas penduduk dan aktivitas pariwisata pada tahun 2023. Indonesia telah menjadi tuan rumah berbagai event internasional pada tahun 2022 dan 2023, seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, MotoGP Mandalika, World Superbike Mandalika, Balap Formula E Jakarta, World Tourism Day, Jakarta Fair, dan lain-lain. Indonesia juga menyambut lebih banyak wisatawan setelah berakhirnya pembatasan perjalanan akibat Covid-19, khususnya dari China.

Tren positif pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh laju inflasi yang relatif terkendali. Inflasi utama (headline inflation) turun hingga mencapai 3,27 persen (y-on-y) pada bulan Agustus 2023. Ini adalah inflasi terendah yang pernah dicatat sejak puncaknya yang terjadi pada bulan September 2022 ketika tekanan inflasi global meningkat tajam sebagai imbas dari invasi Rusia ke Ukraina. Capaian ini membawa inflasi kembali ke kisaran target inflasi Bank Indonesia (3,01 persen) dan lebih cepat dari perkiraan sebagian besar pengamat. Melambatnya laju inflasi disebabkan oleh kombinasi antara faktor eksternal dan faktor domestik. Ini mencakup penurunan harga minyak dunia yang berdampak pada harga energi dan transportasi, peningkatan hasil panen dan penurunan harga minyak goreng, intervensi pemerintah di tingkat daerah untuk mengurangi hambatan pasokan dan distribusi terutama untuk pangan dan beras, dan apresiasi Rupiah yang menurunkan biaya impor. 

Laju inflasi yang melambat memberikan ruang kebijakan moneter yang akomodatif kepada Bank Indonesia untuk meredam kenaikan biaya pinjaman dan mendukung pertumbuhan. Bank Indonesia secara aktif telah menggunakan serangkaian tindakan kebijakan untuk menanggulangi tekanan pasar eksternal di tengah berbagai guncangan global yang terjadi secara bersamaan. Serangkaian kebijakan dimaksud mencakup kombinasi intervensi mata uang asing, suku bunga kebijakan, dan fleksibilitas nilai tukar. Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga kebijakannya secara kumulatif sebesar 225 basis points sepanjang tahun 2022 dan mempertahankan suku bunga 5,75 persen sejak Januari 2023. Selain itu, meskipun rentang suku bunga riil antara suku bunga Amerika (US Fed) dan Indonesia tercatat sebagai yang paling rendah dalam sejarah, arus portofolio telah menjadi positif sehingga mendongkrak nilai Rupiah. Inflasi yang terus menurun dan ekspektasi inflasi yang lebih terkendali, telah mendorong Bank Indonesia untuk mengurangi intensitas pengetatan moneternya. Di tahun 2023, diharapkan inflasi akan berada di rentang target Bank Indonesia di kisaran 3,01 persen. 

Meski demikian, situasi perekonomian belum sepenuhnya dapat dianggap stabil. Berbagai lembaga internasional yang kredibel, justru memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 lebih lambat dari tahun sebelumnya. World Bank (2023) misalnya, memperkirakan ekonomi Indonesia di tahun 2023 hanya akan tumbuh 4,9 persen, lebih rendah dari 5,31 persen di tahun sebelumnya. Sementara International Monetary Fund (2023) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit lebih tinggi dari perkiraan World Bank, yaitu 5,0 persen di tahun 2023. Melambatnya perekonomian global seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, menjadi alasan utama di balik perkiraan yang agak pesimis tersebut. Pertumbuhan global diproyeksikan melambat secara signifikan pada paruh kedua tahun ini, dan pelemahan diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024. Proyeksi ekonomi mitra dagang utama Indonesia seperti Amerika, China, dan Kawasan Eropa, juga di koreksi lebih rendah. Tekanan inflasi masih berlanjut, dan kebijakan moneter yang ketat diperkirakan akan membebani aktivitas ekonomi secara signifikan. Selain itu, ada tanda-tanda pertumbuhan permintaan domestik mulai melambat. Ini sebagian ditunjukkan oleh penurunan yang cukup besar pada impor dan pertumbuhan investasi, perlambatan pertumbuhan kredit sektor swasta, dan perlambatan inflasi inti (core inflation) sejak awal tahun 2023. 

Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sedikit lebih rendah di tahun 2023, namun proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,9 persen dan 5,0 persen sesungguhnya masih menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia cukup solid dan tangguh di tengah tekanan dan ketidakpastian ekonomi global. Permintaan domestik yang besar, penerimaan ekspor komoditas yang meningkat, konsumsi swasta yang terus tumbuh, dan pengendalian inflasi agar tetap berada pada level moderat, menjadi sangat krusial untuk terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Namun ancaman eksternal tetap harus diwaspadai. Permintaan global yang lebih lemah, keuangan global yang lebih ketat, arus keluar modal yang meluas, dan tekanan mata uang yang dapat memicu siklus pengetatan kebijakan moneter lebih cepat, masih berpotensi mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level yang lebih rendah. 

Saat ini dan beberapa tahun ke depan, bagi Indonesia sangatlah penting untuk menerapkan kebijakan yang kredibel untuk mengendalikan inflasi dan menjamin stabilitas makroekonomi dan keuangan, serta melakukan reformasi untuk meletakkan dasar bagi jalur pembangunan yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif.

Tantangan Ke Depan

Tantangan terbesar yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini adalah menjaga pertumbuhan ekonomi tetap persisten di tengah faktor eksternal dan faktor domestik yang kurang mendukung. Secara eksternal, dampak dari invasi Rusia ke Ukraina akan memperlambat kegiatan ekonomi global secara tajam karena telah mengganggu perdagangan global dan rantai pasokan (global supply chain) sehingga membuat harga komoditas dan pangan global semakin meningkat. Berbagai lembaga internasional memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,1 persen pada tahun 2022 menjadi 2,1 persen pada tahun 2023, yang menunjukkan bahwa perekonomian dunia akan tetap lemah dan bahkan berisiko mengalami penurunan yang lebih parah. Di dalam laporan Global Economic Prospects (2023) disebutkan bahwa semua pendorong utama pertumbuhan global — termasuk produktivitas, perdagangan, angkatan kerja, dan pertumbuhan investasi — diperkirakan akan melemah selama sisa dekade ini. Pertumbuhan potensial, yaitu pertumbuhan maksimum yang dapat dipertahankan perekonomian global dalam jangka panjang tanpa memicu inflasi,  diperkirakan akan turun ke titik terendah dalam tiga dekade selama sisa tahun 2020-an.

Akibat perang Rusia-Ukraina, harga untuk sebagian besar komoditas diperkirakan akan lebih tinggi di tahun 2023 dari pada di tahun sebelumnya. Sementara itu, harga-harga komoditas diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2023, dan dalam jangka menengah harga-harga tersebut diproyeksikan akan tetap tinggi. Hal ini meningkatkan kekhawatiran atas kerawanan ketahanan pangan dan kemiskinan, serta meningkatnya inflasi. Ini dapat menyebabkan kondisi keuangan global yang lebih ketat, yang memperbesar kerentanan sektor keuangan. Kondisi global tersebut akan menimbulkan risiko merugikan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Sedangkan secara internal, potensi pertumbuhan ekonomi (potential growth) terus menurun karena berkurangnya input tenaga kerja, lemahnya pembentukan modal manusia, dan lambatnya pertumbuhan produktivitas. Sebelum pandemi Covid-19, investasi dan input tenaga kerja telah menjadi pendorong utama pertumbuhan, namun semua pendorong pertumbuhan tersebut sekarang tampak melemah, khususnya produktivitas faktor total (total factor productivity/TFP). Dalam catatan World Bank (2023), pertumbuhan TFP melambat hampir setengahnya dalam periode tahun 2010-an dibandingkan dengan periode tahun 2000-an. Penurunan TFP dan modal manusia ini sejalan dengan pertumbuhan produktivtas tenaga kerja yang lebih rendah, karena hasil dari realokasi sumber daya di berbagai sektor sepertinya tidak terlihat. Perlambatan realokasi tenaga kerja antar sektor sebagian mencerminkan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah di sektor jasa dan industri dan penurunan pertumbuhan produktivitas di sektor jasa. 

Jika diamati lebih dalam, pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir telah didorong oleh siklus komoditas, perbaikan tata kelola, pembangunan infrastruktur, dan akumulasi stabilitas makro. Ke depan, faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan perlu diubah menjadi kebijakan-kebijakan yang ramah terhadap pasar dan lembaga-lembaga yang dapat mengalokasikan sumber daya untuk mendorong produktivitas yang lebih tinggi dan meningkatkan daya saing. 

Tantangan lainnya adalah tekanan dari sisi fiskal, yang bersumber pada dua hal, yaitu rendahnya penerimaan negara yang bersumber dari pajak (tercermin dari tax ratio yang rendah dan cenderung menurun) dan besarnya beban pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri (tercermin dari rasio pembayaran utang terhadap APBN).  Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan strategi fiskal jangka menengah dengan urutan prioritas yang baik, termasuk rencana yang jelas untuk melakukan reformasi perpajakan guna meningkatkan pendapatan pajak dan memperlebar ruang fiskal untuk belanja prioritas. Menciptakan ruang fiskal melalui reformasi pajak benar-benar sangat urgen untuk memperbesar pagu anggaran belanja pada program yang mendorong pertumbuhan (pro-growth) dan program yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) serta memastikan investasi publik untuk menutup kesenjangan infrastruktur yang kritis. Di samping itu, untuk menjaga keberlangsungan fiskal dalam jangka panjang, akumulasi utang luar negeri harus tetap manageable dengan menyiapkan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang luar negeri tetap terjaga dalam batas aman. Pada saat yang sama, juga penting untuk memperbaiki praktik pengelolaan utang luar negeri agar penggunaannya lebih efektif dan benar-benar diarahkan untuk mendorong dan memperluas aktivitas ekonomi produktif. 

Pengendalian inflasi menjadi tantangan berikutnya bagi perekonomian Indonesia. Meskipun inflasi sudah menunjukkan tren menurun, atau setidaknya lebih rendah dari tahun sebelumnya, namun ancaman inflasi tetap harus diwaspadai. Volatilitas harga komoditas global dapat meningkat karena pasar masih rentan terhadap guncangan pasokan sebagai imbas dari kondisi geopolitik yang tidak menentu dan meningkatnya risiko pada tanaman pangan akibat perubahan iklim. Inflasi global yang cenderung persisten akan memicu pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga secara agresif (contractionary monetary policy). Suku bunga yang tinggi tidak hanya menghambat pertumbuhan karena mengurangi investasi, tetapi juga meningkatkan risiko krisis keuangan. Situasi ini akan mendorong perekonomian ke kondisi yang semakin sulit.

Bagi Indonesia, tekanan inflasi global akibat krisis energi dan pangan akan memberi dampak luas terhadap daya beli masyarakat. Bagaimanapun, pelemahan daya beli adalah risiko yang harus tetap dijaga pemerintah mengingat konsumsi masyarakat masih menjadi motor penggerak utama perekonomian Indonesia. Untuk meredam inflasi, konsistensi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dan sinergi yang kuat antara Bank Indonesia dan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) benar-benar sangat dibutuhkan.

Daftar Bacaan

Badan Pusat Statistik. 2023. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2023. Berita Resmi Statistik. No. 55/08/Th. XXVI, 7 Agustus 2023.

_________________. 2023. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I-2023. Berita Resmi Statistik. No. 34/05/Th. XXVI, 5 Mei 2023.

_________________. 2023. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2022. Berita Resmi Statistik. No. 15/02/Th. XXVI, 6 Februari 2023.

Bank Indonesia. 2022. Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju. Laporan Perekonomian Indonesia 2022.

International Monetary Fund (IMF). 2023. World Economic Outlook Update: Near-Term Resilience, Persistent Challenges. July 2023.

World Bank. 2023. The Invisible Toll of COVID-19 on Learning. Indonesia Economic Prospects. June 2023.

_________. 2023. Global Economic Prospects. June 2023.

_________. 2022. Trade for Growth and Economic Transformation. Indonesia Economic Prospects. December 2022.

_________. 2022. Financial Deepening for Stronger Growth and Sustainable Recovery. Indonesia Economic Prospects. June 2022.




0 comments:

Posting Komentar