Selasa, 07 Juni 2022

PERENCANAAN PEMBANGUNAN

TANTANGAN DAN HAMBATAN DALAM PRAKTIK PERENCANAAN PEMBANGUNAN:
APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN

AGUSSALIM


Tantangan dan Hambatan 

Sejauh yang bisa diamati, terdapat berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi di dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan, diantaranya: pertama, adanya perbedaan kepentingan diantara berbagai elit yang seringkali berlangsung dengan keras dan akut. Setiap aktor memiliki kepentingan (entah politik atau ekonomi) dan mereka terus berupaya untuk memastikan kepentingannya terakomodir di dalam desain perencanaan pembangunan. Perang kepentingan antar aktor, baik secara vulgar maupun terselubung, seringkali tak terhindarkan. Bahkan potret “relasi-kuasa” antar aktor seringkali diwarnai dengan intensi yang tinggi. Situasi ini telah menyebabkan para perencana seringkali mengalami kesulitan untuk mengharmonisasikan kepentingan seluruh elit.

Kedua, perbedaan preferensi para pemangku kepentingan (stakeholder). Setiap stakeholder memiliki preferensi yang berbeda yang dituntun oleh kepentingan mereka masing-masing. Jika anda seorang anak muda, maka anda lebih peduli pada ketersediaan sekolah. Jika anda seorang lansia, maka anda lebih peduli pada ketersediaan rumah sakit. Jika anda ibu rumah tangga, maka yang anda butuhkan adalah harga kebutuhan pokok yang stabil. Jika anda kepala rumah tangga, maka yang anda perlukan adalah pekerjaan dengan balas jasa yang layak. Masalah kemudian muncul karena tidak mungkin semua preferensi tersebut bisa diakomodir akibat adanya kendala sumberdaya. Situasi menjadi kian sulit karena munculnya pihak tertentu yang acapkali ingin memaksakan preferensinya, bahkan diucapkan dengan nada tinggi dan agak emosional. Melahirkan konsensus diantara berbagai preferensi stakeholder, bukanlah perkara mudah.

Ketiga, terbatasnya kapasitas para perencana. Ini setidaknya tercermin pada dua hal, yaitu: (i)  kekurang-sadaran untuk melihat keterkaitan antar berbagai kepentingan; dan (ii) kekurang-mampuan untuk melihat jauh ke depan dan berpikir secara komprehensif. Para perencana seringkali luput untuk melihat keterkaitan antar sektor pembangunan dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya satu sektor dengan sektor lainnya saling terkait. Para perencana juga pada umumnya tidak memiliki kemampuan foresight, yaitu kemampuan untuk membaca dan memprediksi apa yang bakal terjadi di masa depan. Para perencana juga seringkali tidak mampu mengindentifikasi secara tepat berbagai faktor yang potensial berpengaruh terhadap pelaksanaan rencana. Kegagalan ini telah memberi dampak besar terhadap kualitas perencanaan yang dihasilkan.

Keempat, adanya subyektifitas perencana. Dalam beberapa kasus, pentingnya rencana seringkali ditentukan oleh posisi perencana serta latar belakang dan minat para perencana. Jika seorang perencana berada di posisi yang menangani bidang tertentu, maka seringkali menganggap bahwa bidang tersebutlah yang paling penting, dan karena itu harus ditempatkan sebagai prioritas.  Begitu pula jika seorang perencana memiliki minat besar terhadap suatu subjek tertentu, katakanlah misalnya lingkungan hidup, maka desain perencanaan akan sangat kental dengan nuansa lingkungan hidup. Subyektifitas para perencana inilah yang kerapkali menurunkan kualitas perencanaan pembangunan karena mereduksi pendekatan teknokratis dalam perumusan rencana. 

Apa yang Seharusnya Dilakukan? 

Ke depan, untuk memperkuat perencanaan pembangunan, pemerintah perlu fokus membenahi sedikitnya empat aspek penting, yaitu: pertama, menetapkan satu rezim perencanaan pembangunan. Saat ini, ada sebuah pertanyaan penting yang masih sulit untuk dijawab: siapa sebetulnya pihak yang paling berhak dan memiliki otoritas penuh untuk “mengatur” praktik perencanaan pembangunan di Indonesia? Pertanyaan ini penting karena selama ini setidaknya ada tiga rezim yang bekerja untuk mengatur praktik perencanaan pembangunan, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementeriaan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ketiga kementerian ini seolah-olah berebut “kuasa dan pengaruh” untuk mendiktekan penyelenggaraan perencanaan pembangunan, terutama di daerah. Celakanya, masing-masing kementerian memiliki konsep, perspektif, dan pemahaman yang berbeda mengenai bagaimana seharusnya perencanaan pembangunan diselenggarakan. Akibatnya, terjadi inkonsistensi antar peraturan perundangan di bidang perencanaan pembangunan, bukan hanya antar kementerian tetapi  juga inter kementerian. Dampaknya, para perencana di daerah mengalami kegamangan dan kebingungan saat mendesain perencanaan pembangunan daerah. 

Kedua, memperkuat kelembagaan perencanaan. Lembaga perencanaan pembangunan di berbagai tingkatan pemerintahan, seharusnya memiliki struktur organisasi yang lebih bersifat fungsional ketimbang struktural, yang lebih mengedepankan pada pencapaian hasil (output dan outcome) daripada sekedar pelaksanaan kegiatan. Sebuah struktur yang bekerja berdasarkan pendekatan ”kolegial-kolektif-kolaboratif”, dengan memberi ruang bagi setiap anggota organisasi untuk ikut berkontribusi bagi pencapaian hasil organisasi. Selain itu, koordinasi antar lembaga perencanaan, baik secara vertikal (nasional, provinsi, kabupaten/kota) maupun secara horizontal (Bappeda, badan, dinas, kecamatan, desa/kelurahan) juga perlu terus dibenahi secara berkelanjutan. Koordinasi substansial perlu terus diperkuat dengan mempertegas: siapa menghasilkan apa, siapa mengerjakan apa, siapa berkontribusi apa, siapa membiayai apa, dst.

Ketiga, meningkatkan kapasitas para perencana. Kualitas perencanaan pembangunan sangat bergantung pada kapasitas sumberdaya manusia perencana. Para perencana harus terus ditingkatkan kemampuannya untuk berpikir “logik-holistik-integratif” saat mendesain perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, para perencana harus didorong, difasilitasi, dan diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk meningkatkan kompetensinya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pelatihan. Keberadaan tenaga fungsional perencana juga perlu terus diperkuat dari waktu ke waktu. Bersamaan dengan itu, kegiatan in-house training juga perlu dibudayakan di lingkungan lembaga perencanaan. Diskusi berkala juga perlu lebih diintensifkan, dimana aparat perencana secara bergilir menyampaikan ide dan gagasan terkait dengan penguatan perencanaan pembangunan dan peningkatan kinerja pembangunan. Upaya terstruktur semacam ini, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas para perencana secara berkelanjutan dan membantu mewujudkan team-work yang solid di bidang perencanaan pembangunan.

Keempat, memperkuat proses teknokratis. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan, proses teknokratis perlu dioptimalkan, yaitu sebuah proses yang bertumpu pada kekuatan logical frameworkreasoning, dan argumentasi. Jika proses teknokratis dapat dimaksimalkan, maka terbuka peluang untuk meminimalkan intervensi politik. Di banyak tempat, intervensi politik yang terlalu kuat seringkali memporak-porandakan bangunan perencanaan yang sudah mapan. Selain itu, dengan memperkuat proses teknokratis, diharapkan para “penumpang gelap” tidak lagi bebas bermain di dalam arena proses perencanaan. 

Makassar, 8 Juni 2022

0 comments:

Posting Komentar