Minggu, 06 Maret 2022

ANCAMAN INFLASI

 ANCAMAN INFLASI

 

AGUSSALIM

Dosen FEB-UNHAS dan Tenaga Ahli TGUPP Sulsel 

 

Dalam beberapa hari terakhir, kita telah menyaksikan (mungkin lebih tepatnya, merasakan) kenaikan harga berbagai jenis barang. Awalnya, ini dipicu oleh kenaikan harga dua komoditas yang sangat strategis - karena menjadi input utama dalam proses produksi -, yaitu bahan bakar minyak dan gas. Harga bahan bakar minyak, sudah mengalami dua kali kenaikan hanya dalam hitungan hari. Kenaikan harga ini, menurut keterangan Pemerintah, sebagai imbas dari naiknya harga minyak mentah dunia yang sudah menembus level 114 dollar per barrel pada awal Maret 2022 (naik dari 78 dollar per barrel pada akhir Desember 2021). Harga ini diperkirakan akan terus bergerak ke atas, seiring dengan kondisi global yang tidak menentu. 

Begitu pula dengan harga gas elpiji, juga telah mengalami kenaikan dua kali dalam dua bulan terakhir. Kenaikan harga terjadi pada gas elpiji non subsidi, yaitu ukuran 5,5 kg dan 12 kg, sedangkan harga gas elpiji ukuran 3 kg tidak berubah karena di subsidi oleh pemerintah. Kenaikan harga ini, disebutkan oleh PT. Pertamina menyesuaikan dengan perkembangan terkini industri minyak dan gas, dimana harga Contract Price Aramco (CPA) naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021. Namun kebijakan ini telah memicu terjadinya kelangkaan gas elpiji ukuran 3 kg karena adanya mutasi pengguna dari yang semula menggunakan 5,5 kg dan 12 kg beralih ke 3 kg. Kenaikan harga dua komoditas strategis ini berpotensi memicu inflasi karena memberi efek lanjutan bagi kenaikan harga-harga komoditas lainnya. 

Pada saat yang sama, terjadinya gangguan pasokan atau kelangkaan berbagai komoditas kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, kedele, dan gula pasir, juga akan memicu inflasi. Kelangkaan komoditas ini akan menyulitkan pelaku usaha di industri makanan dan minuman maupun pedagang skala kecil. Ketersediaan pasokan yang terganggu bakal mempengaruhi kepastian dan keberlanjutan produksi. Para mafia ekonomi atau spekulan akan memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan, dengan menimbun dan kemudian menjual di atas harga patokan. Situasinya kemungkinan menjadi semakin rumit, karena potensi inflasi akibat gangguan pasokan ini akan semakin besar menjelang Ramadhan, mengingat secara seasonal, Ramadhan selalu ditandai dengan naiknya kebutuhan minyak goreng, gula pasir, dan kebutuhan pokok lainnya.

Potensi inflasi juga bakal muncul dari perang yang sedang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina. Tentu saja, perang ini akan mengganggu global supply chain, yang pada gilirannya akan memicu harga-harga komoditas bergerak naik. Hampir pasti, harga energi dunia akan meningkat karena gangguan pasokan, mengingat Rusia merupakan eksportir minyak mentah dan produsen minyak terbesar di dunia. International Monetary Fund (IMF) dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa harga energi dan gandum telah melonjak sebagai imbas konflik Rusia dan Ukraina. Efek sanksi terhadap Rusia juga akan menimbulkan spillover effect ke berbagai negara. Perang yang sedang berlangsung dan pemberlakuan sanksi kepada pihak Rusia akan berdampak parah pada ekonomi global. Dampak paling parah akan dirasakan oleh rumah tangga miskin di seluruh dunia karena kejutan harga-harga kebutuhan pokok, mengingat makanan dan bahan bakar merupakan proporsi pengeluaran terbesar bagi rumah tangga miskin. Jika konflik terus mengalami ekskalasi, kerusakan ekonomi akan semakin menghancurkan.

Kenaikan harga berbagai komoditas akan menghambat proses pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung. Akibat inflasi, daya beli masyarakat akan menurun (akibat upah rill menurun), konsumsi masyarakat akan berkurang, sehingga pada gilirannya perekonomian akan mengalami perlambatan. Dari sisi pengeluaran, konsumsi masyarakat merupakan penyumbang terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan sumber utama pertumbuhan ekonomi. Terjadinya kontraksi pada konsumsi masyarakat, akan memberi dampak luas bagi perekonomian secara keseluruhan. Perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19, mendapat tekanan baru berupa ketidakpastian ekonomi global akibat perang Rusia – Ukrania. 

Kenaikan harga, terutama bahan kebutuhan pokok, juga akan memberi tekanan terhadap upaya penangulangan kemiskinan. Penduduk miskin dan kelompok retan akan semakin sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan karena menurunnya kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Di setiap moment inflasi, kelompok terbawah dalam hirarkhi distribusi pendapatan, selalu menjadi pihak yang paling terpukul dan menderita.

Di tengah situasi seperti ini, kita sisa berharap semoga Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan respon yang tepat untuk mengendalikan inflasi inti (core inflation), mencegah efek lanjutan dari kebijakan admistered price pemerintah, dan meminimalkan dampak gangguan global supply shock bagi perekonomian domestik. Di saat yang sama, Tim Penanggulangan Inflasi Daerah (TPID) juga perlu bekerja ekstra untuk memantau pasokan dan distribusi barang, termasuk mencegah potensi penimbunan barang oleh oknum yang ingin mengeruk keuntungan ekonomi di masa-masa sulit.      

Lebih dari itu, kita semua perlu bersiap menghadapi ancaman inflasi. Oleh para ekonom, inflasi sering disebut secara popular sebagai “hantu ekonomi” karena sifatnya yang… menyeramkan.

Makassar, 7 Maret 2022

0 comments:

Posting Komentar