Rabu, 01 September 2010

Investasi Daerah

PENGEMBANGAN INVESTASI DAERAH:
Agenda Pemerintah Daerah

Agussalim


Abstrak



Investasi daerah merupakan salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi pembangunan daerah. Namun untuk merangsang investasi dibutuhkan agenda-agenda yang jelas dan komprehensif yang secara internal dikreasikan sendiri oleh pemerintah daerah. Agenda-agenda dimaksud, antara lain: (i) merumuskan kebijakan investasi; (ii) memperbaiki peraturan dan regulasi; dan (iii) memperbaiki dukungan dan pelayanan birokrasi; (iv) mengembangkan promosi daerah; (v) mengembangkan kemitraan; (vi) mengembangkan regional management; (vii) mengembangan business networking; dan (viii) mempertajam strategi belanja publik.

Keywords: local investment, local government agenda.


1. Pendahuluan

Secara normatif, investasi daerah (local investment) dipahami sebagai salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi pembangunan daerah. Tak terkecuali di kalangan pemerintah daerah, timbul semacam kesadaran - terlebih sesudah implementasi desentralisasi dan otonomi daerah - bahwa akselerasi pembangunan hanya dimungkinkan jika terdapat arus investasi yang signifikan. Persepsi yang kuat tentang pentingnya investasi telah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya, mulai dari promosi investasi yang gencar hingga kunjungan pejabat daerah keluar negeri.

Namun secara umum, antusiasme pemerintah daerah tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan agenda-agenda yang jelas dan komprehensif yang secara internal dikreasikan sendiri oleh pemerintah daerah. Perumusan kebijakan investasi, penyempurnaan peraturan dan regulasi, penyusunan master-plan investasi, pengembangan sistem informasi investasi, pelayanan one-roof system atau one-stop shop, pengembangan partnership, belum dikembangkan secara optimal oleh pemerintah daerah. Nampak jelas bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mengalami reorientasi peran, dari peran tradisional menuju peran kewiraswastaan.

2. Masalah dan Tantangan

Secara umum, iklim investasi di Indonesia, dihadapkan tidak saja pada tantangan untuk menarik investasi baru, tetapi juga tantangan untuk mempertahankan investasi yang sudah ada. Kepindahan - sebagian lainnya masih tahap rencana - beberapa perusahaan multi-nasional menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia sudah berada pada tahap yang cukup mengkhawatirkan.

Kedepan, diperkirakan tantangan tersebut akan kian berat, bukan hanya karena lingkungan eksternal yang semakin ketat, akan tetapi juga karena daya tarik domestik yang masih relatif rendah. Secara eksternal, tantangan dimaksud, antara lain (Bappenas, 2003):

Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun akibat meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal, kemungkinan terjadinya berbagai spekulasi dalam proses merger dan akuisisi perusahaan, serta masalah-masalah kelembagaan seperti kelambatan proses privatisasi di beberapa negara.

Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu saja. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia karena didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, dan ketersediaan tenaga kerja yang memadai.

Sedangkan secara internal, sejumlah faktor yang dinilai menghambat investasi di Indonesia, antara lain:

Pertama, masih adanya gangguan keamanan pada beberapa wilayah yang meskipun bersifat lokal namun dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional. Selain itu, masih maraknya aksi teror bom di berbagai wilayah juga telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor untuk menanamkan modalnya atau paling tidak menunda realisasi dari rencana investasinya.

Kedua, kurangnya kepastian hukum yang selanjutnya mengakibatkan ketidakpastian hak milik (property right) dan perjanjian usaha di Indonesia serta lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga.

Ketiga, kurang kondusifnya pasar tenaga kerja di Indonesia. Dengan produktivitas yang rendah dan upah yang sulit diperkirakan secara pasti serta ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja, daya tarik investasi di Indonesia dari sisi ketenagakerjaan menurun drastis.

Keempat, tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah, serta kesimpangsiuran pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan di bidang investasi, pemberian insentif, dan perijinan.

Kelima, prosedur yang panjang dan berbelit mulai dari perijinan hingga kepabeanan yang tidak saja menyebabkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan.

Keenam, kurangnya insentif investasi, khususnya insentif perpajakan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances).

3. Dukungan Kebijakan Nasional

Dengan mencermati beragam masalah dan tantangan investasi di atas, maka perkembangan investasi di tahun-tahun mendatang akan sangat tergantung pada sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah tersebut melalui serangkaian kebijakan yang bersifat holistik dan lintas sektoral.

Berkaitan dengan hal tersebut, secara makro telah diterbitkan White Paper yang menguraikan mengenai peran pemerintah dalam meningkatkan iklim investasi. Peran pemerintah dimaksud adalah menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi sektor swasta melalui kebijakan dan kelembagaan yang baik, yang didalamnya mencakup pemberiaan kepastian hukum, penyederhanaan proses pemberian lisensi, dan penghapusan hambatan untuk berinvestasi.

Selain itu, oleh pemerintah juga telah dikembangkan dua kebijakan dasar yaitu: (i) mempertahankan penanaman modal yang sudah ada melalui peningkatan check and balanced system yang mampu menampung keluhan dari kegiatan investasi yang ada serta menindaklanjuti secara cepat dan efektif; dan (ii) meningkatkan daya tarik perekonomian yang mampu menarik minat investor melalui penanganan aksi teror dan konflik, peningkatan kepastian hukum, penyederhanaan proses perijinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penyempurnaan sistem perpajakan termasuk prosedur kepabeanan.

Oleh departemen, kebijakan dasar ini kemudian ditindak-lanjuti dalam berbagai bentuk agenda, program, dan rencana aksi. Departemen Perindustrian misalnya, telah mengembangkan agenda-agenda yang diarahkan untuk mendorong investasi, antara lain: (i) agenda peningkatan iklim usaha yang mencakup harmonisasi tarif bea masuk produk industri, peningkatan dukungan perpajakan, dan peningkatkan ketersediaan bahan baku lokal; dan (ii) agenda peningkatan investasi yang meliputi percepatan proses perizinan di pusat dan daerah, peningkatan pemanfaatan kawasan industri, dan penyediaan insentif perpajakan bagi investasi daerah tertentu.

Dalam satu tahun terakhir, berbagai upaya pemerintahan baru untuk mereformasi iklim investasi nampak menunjukkan hasil. Dalam Laporan Doing Business in 2006 – sebuah laporan mengenai perbandingan internasional atas iklim usaha di seluruh dunia – yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada bulan September 2005 lalu, Indonesia dianggap telah menunjukkan kemajuan dalam tiga bidang: (i) perkenalan peraturan perundang-undangan kepailitan yang baru yang telah memperjelas peraturan-peraturan bagi penutupan usaha-usaha yang pailit serta penataan kembali usaha-usaha yang menjanjikan; (ii) perbaikan peraturan-peraturan yang melindungi para penanam modal; dan (iii) beberapa peraturan bagi pengembangan usaha seperti penurunan biaya untuk memulai suatu usaha. Indonesia saat ini menempati peringkat 115 dan berada dalam perempat yang ketiga, naik dari perempat paling bawah tahun lalu.

Meski demikian, reformasi iklim investasi belum sepenuhnya berjalan secara optimal akibat terkatung-katungnya pembahasan RUU Penanaman Modal. Padahal RUU tersebut sudah disusun sejak tiga tahun yang lalu, namun sampai saat ini pembahasannya masih berlangsung di tingkat eksekutif. Beberapa aspek yang masih menimbulkan perdebatan, antara lain: perlakuan yang sama (equity treatment) antara investor domestik dan investor asing,

4. Agenda Pemerintah Daerah Ke Depan

Meski investasi sangat penting bagi daerah, namun mendatangkan investasi ke daerah bukanlah pekerjaan sederhana. Bagaimanapun, investasi memiliki logikanya sendiri. Secara umum, investasi, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun pananaman modal asing (PMA), akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi serta adanya iklim investasi yang kondusif.

Oleh karena itu, guna meningkatkan iklim investasi dan mendorong investasi daerah, terdapat sejumlah agenda yang seyogyanya dipertimbangkan oleh pemerintah daerah untuk dikembangkan di masa depan, antara lain merumuskan kebijakan investasi, memperbaiki regulasi, menyederhanakan prosedur perijinan, mengembangkan infrastruktur, melakukan promosi daerah, mengembangkan regional management, dan lain-lain. Meski agenda-agenda tersebut bukanlah sesuatu yang baru, namun tetap menarik untuk didiskusikan mengingat bahwa selama ini agenda-agenda tersebut belum diimplementasikan secara optimal.

5. Merumuskan kebijakan investasi

Pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan investasi daerah, khususnya yang terkait dengan peningkatan iklim investasi. Kebijakan tersebut sebaiknya ditetapkan dengan standarisasi yang baku, dan selanjutnya dipublikasikan agar investor dapat mempelajarinya. Rumusan kebijakan investasi daerah itu penting agar daya tarik investasi daerah yang bersangkutan bisa dipelajari oleh investor.

Sedikitnya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa suatu daerah perlu merumuskan kebijakan investasi. Pertama, semangat desentralisasi dan otonomi daerah mengharuskan pemerintah daerah untuk secara cerdas mendorong pembangunan daerahnya dan meningkatkan pendapatan daerahnya dengan cara menggali potensi daerah dan menarik investasi. Namun hal itu hanya dapat diwujudkan, sekiranya pemerintah daerah memiliki kebijakan dan perencanaan investasi yang memadai.

Kedua, terkait dengan point pertama di atas, persaingan di kalangan pemerintah daerah untuk menarik investasi seringkali menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Namun, tentu saja, hanya daerah-daerah yang secara cerdas mampu merumuskan kebijakan investasi yang akan memenangkan persaingan.

Ketiga, dengan adanya kebijakan investasi, memungkinkan pemerintah daerah untuk menyusun kerangka perencanaan dan rencana aksi yang diarahkan untuk mendorong investasi, khususnya investasi swasta, baik domestik maupun asing. Disadari sepenuhnya bahwa di tengah kian merosotnya kepercayaan dunia usaha terhadap iklim investasi di Indonesia, hanya kebijakan dan strategi investasi yang jitu yang sanggup merangsang minat investor.

Dari segi muatan, kebijakan investasi dimaksud sedikitnya memuat: (i) arah pengembangan investasi daerah; (ii) legal aspect dan kepastian investasi; (iii) pengembangan tata ruang dan kawasan investasi; (iv) hak dan kewajiban investor; (iv) pelayanan investasi; (v) insentif perpajakan, dan lain-lain.

6. Memperbaiki peraturan dan regulasi

Dalam banyak kasus, perkembangan investasi seringkali tidak digerakkan semata-mata oleh pertimbangan potensi daerah, dukungan infrastruktur, dan prospek ekonomi, akan tetapi juga ditentukan oleh peraturan dan regulasi serta pelayanan birokasi pemerintah. Regulasi yang bersifat distortif dan pelayanan birokrasi pemerintah yang buruk sangat potensial menghambat investasi.

Jika dicermati, jumlah produk hukum (dalam bentuk peraturan daerah) yang dibuat oleh pemerintah daerah saat ini relatif cukup banyak. Di satu pihak, gejala ini dianggap sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, namun di lain pihak, juga dianggap sebagai ekses atas pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebab sebagian besar produk hukum yang dihasilkan tersebut nampak lebih berorientasi pada upaya menarik sebanyak mungkin pungutan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Timbul kesan, desentralisasi dan otonomi daerah dianggap sebagai bentuk legitimasi untuk meningkatkan PAD, sehingga ekonomi biaya tinggi (high cost economy) sulit untuk dihindari.

Sejak desentralisasi dan otonomi daerah mulai diimplementasikan secara efektif tahun 2001, pajak daerah (regional taxes) memang telah menjadi ancaman bagi kegiatan bisnis. Ketiadaan sumber-sumber penerimaan daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk memperkenalkan format baru perpajakan dan retribusi. Sejumlah pemerintah daerah telah memberlakukan pajak perdagangan (tax trade), baik dalam maupun antar kabupaten/kota dan provinsi, karena jenis pajak ini dianggap mudah untuk diterapkan (hanya menempatkan petugas pada sejumlah lokasi strategis, seperti batas kota, stasiun penimbangan, pelabuhan, jembatan, dll.). Kabupaten Bima misalnya, mengenakan pajak terhadap hampir semua komoditas atau produk yang dikirim keluar melewati perbatasan. Begitu pula Provinsi Lampung memberlakukan “licence fee” terhadap 180 jenis komoditas yang di ekspor keluar.

Kecenderungan pemerintah daerah yang hanya sekedar memikirkan bagaimana memperbesar “pundi-pundi” penerimaan daerah, tentu saja bukanlah sebuah kecenderungan yang positif dan sehat. Sebab hal tersebut bukan hanya potensial menghambat laju investasi, tetapi juga berdampak buruk bagi perekonomian secara keseluruhan.

7. Memperbaiki dukungan dan pelayanan birokrasi

Beberapa faktor domestik yang menghambat iklim investasi nampaknya belum mengalami perbaikan yang berarti. Salah satu diantaranya adalah prosedur yang panjang dan berbelit, yang tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan, baik untuk kepentingan perusahaan maupun kepentingan nasional seperti dalam penciptaan lapangan kerja.

Saat ini misalnya, berdasarkan peraturan dan regulasi yang berlaku, untuk memulai suatu kegiatan bisnis di Indonesia, para investor memerlukan 11 prosedur yang membutuhkan waktu selama 168 hari dengan biaya 14,5 persen dari rata-rata pendapatan, serta membutuhkan modal minimum tiga kali rata-rata pendapatan. Walaupun biaya tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, namun dari segi waktu hampir tiga kali lipat. Lebih dari itu, masing-masing prosedur merupakan point of contact, sehingga membuka kesempatan terjadinya praktek penyuapan.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem pelayanan investasi yang transparan, cepat, tanggap, dan terkoordinasi. Salah satu bentuk pelayanan investasi yang dinilai efektif dan efisien adalah one-stop licencing office. Sistem ini diyakini dapat menenangkan para investor, karena sistem ini dapat memberi kepastian waktu, biaya, dan prosedur. Tujuan utama sistem ini disamping dapat mengurangi banyaknya lisensi dan surat ijin, juga dapat memangkas banyaknya prosedur yang diperlukan untuk memperoleh lisensi dan surat ijin tersebut.

8. Mengembangkan promosi daerah

Untuk mendorong investasi, daerah dituntut untuk aktif menggali potensi daerahnya dan menginformasikannya kepada publik melalui berbagai media. Keberadaan informasi yang cepat akses, akurat, dan mutakhir, akan membantu pihak investor dalam menganalisis potensi daerah dan melakukan keputusan investasi.

Dewasa ini, salah satu bentuk informasi potensi daerah yang diharapkan dapat membantu pihak investor dalam melakukan keputusan investasi adalah Geographic Information System (GIS). Format informasi ini sedikitnya memuat: (i) data bio fisik, termasuk daerah aliran sungai, hutan, sumberdaya air, keanekaragaman hayati, dan lingkungan hidup; (ii) data sosio-ekonomi, seperti demografi, struktur ekonomi, statistik pertanian, konsumsi dan pengeluaran, kemiskinan, dan indikator pembangunan daerah; (iii) batas administratif wilayah hingga tingkat desa; (iv) tata pemerintahan, informasi kebijakan dan perencanaan; dan (v) peta infrastuktur, termasuk jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta.

9. Mengembangkan kemitraan (partnership)

Ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuh-kembangnya investasi. Namun pemerintah daerah secara umum memiliki keterbatasan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, akibat anggaran pemerintah daerah yang relatif terbatas. Oleh karena itu, konsep kemitraan (partnership) menjadi sebuah alternatif yang paling mungkin bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan infrastuktur daerah. Hampir sulit mengharapkan tersedianya infrastruktur yang memadai tanpa adanya keterlibatan pihak swasta dan masyarakat.

Namun dalam kenyataannya, konsep kemitraan, katakanlah dalam bentuk public-private partnership, belum banyak dipraktekkan oleh pemerintah daerah. Ketidak-mampuan pemerintah daerah untuk menawarkan berbagai bentuk kemitraan, ketidak-jelasan konsep kemitraan yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, tawaran kemitraan yang tidak menarik bagi kalangan investor, merupakan beberapa faktor penyebab mengapa konsep kemitraan belum berkembang di daerah. Nampaknya, pemerintah daerah perlu lebih mencurahkan perhatian mengenai hal ini di masa-masa yang akan datang.

10. Mengembangkan regional management

Untuk menciptakan efektifitas, efisiensi, dan peningkatan daya saing daerah, konsep manajemen kewilayahan (regional management) nampaknya patut dipertimbangkan. Konsep ini berbasis pada kebutuhan untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi pembangunan antar daerah pada suatu kawasan (wilayah). Konsep ini bukan hanya akan menciptakan skala ekonomi (economic scale), memberdayakan potensi ekonomi, memperluas pasar regional, menciptakan efisiensi pembangunan dan efektifitas pemanfaatan infrastruktur, tetapi juga menciptakan lokalisasi investasi dan platform kebijakan investasi.

Pada sisi lain, konsep regional management juga dapat menurunkan tensi persaingan antar daerah, karena konsep ini lebih mengedepankan pada semangat kerjasama yang saling menguntungkan antar daerah. Melalui konsep ini, berbagai bentuk kerjasama wilayah akan dapat diwujudkan, misalnya pengembangan komoditas unggulan, pembangunan infrastruktur (pembangkit listrik, pelabuhan, jaringan telekomunikasi, dll.).

11. Membangun business networking

Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan untuk mengoptimalkan investasi daerah adalah pengembangan jaringan bisnis dan investasi (investment and business networking). Untuk efektifnya suatu jaringan bisnis dan investasi di daerah, maka perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif terhadap pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam jaringan dimaksud, yaitu: (i) aparatur pembina bisnis (misalnya BKPMD); dan (ii) para pelaku ekonomi dan bisnis.

Dalam banyak kasus, hubungan antara kedua pihak tersebut seringkali tidak sejalan terutama karena perbedaan persepsi yang berkaitan dengan wawasan bisnis, sistem pengendalian manajemen, dan penerapan teknologi. Hal ini mengakibatkan pengembangan bisnis di daerah belum optimal. Untuk itu perlu diupayakan peningkatan kemampuan SDM aparat sehingga lebih profesional, mandiri dan memiliki wawasan bisnis. Di samping itu harus diciptakan pula hubungan yang lebih harmonis antara aparatur pembina bisnis dan para pelaku ekonomi di daerah sebagai upaya mewujudkan jaringan bisnis di daerah.

12. Mempertajam strategi belanja publik

Pemerintah daerah sudah saatnya memikirkan strategi pembelanjaan (financing strategy), yang di satu pihak efektif mencapai tujuan dan sasaran pembangunan, namun di lain pihak mampu memberi efek balik bagi penerimaan daerah. Pemerintah daerah sudah saatnya mengkalkulasi secara cermat multiplier effect dan return of investment atas setiap jenis belanja modal yang dialokasikan. Pengembangan revenue program dan pemilihan secara cermat pembangunan social overhead capital yang potensial merangsang investasi, merupakan bagian dari upaya ini. Cara seperti ini setidaknya dapat membantu pemerintah daerah untuk tidak selalu berpikir tentang bagaimana memperbanyak jenis pungutan (pajak dan retribusi).

5. Penutup

Pemerintah daerah merupakan aktor kunci bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif dan pengembangan investasi daerah. Kebijakan yang tepat, peraturan dan regulasi yang jelas, pelayanan yang responsif, merupakan sejumlah aspek yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah daerah di masa yang akan datang. Amat sulit mengharapkan adanya arus investasi ke daerah sekiranya sejumlah aspek tersebut tidak ditangani atau dibenahi secara sungguh-sunguh oleh pemerintah daerah.

Daftar Bacaan

Agussalim, 2005, The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana, Pusbindiklatren BAPPENAS, ISSN 1656-4229, Volume 5, Tahun 3, Juni 2005, Hal. 28-32.
Agussalim, 2003a, Otonomi Daerah dan Pengembangan Investasi, modul pada diklat subtantif Perencanaan Investasi Daerah, kerjasama BAPPENAS dengan Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin, Makassar.
Agussalim, 2003b, Rencana Investasi Sulsel: Perkiraan Kebutuhan Investasi Tahun 2004-2008, disusun atas permintaan Badan Promosi Penanaman Modal (BPPMD) Propinsi Sulawesi Selatan.
Agussalim, 2003c, KTI, Konsepsi Pembangunan, dan Upaya Pencerahan. Makalah yang Disampaikan pada One Day Seminar “Marketing Places: A New Approach for Sustainable Development in Era of Regional Autonomy”, Dilaksanakan oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Sulsel, Hotel Sahid Jaya Makassar, 12 April.
Agussalim (Team Leader), 2002, Master Plan Investasi Sulawesi Selatan, kerjasama Badan Promosi Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Propinsi Sulawesi Selatan dengan Bina Mitra Konsultan Makassar.
Amstrong, H, dan Taylor, J, 1993, Regional Economics and Policy, Harvester Wheatsheaf, London.
Bappenas, 2003, Perekonomian Indonesia Tahun 2003: Prospek dan Kebijakan, Jakarta.
Blakely, J. Edward and Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development: Theory and Practice, 3rd Edition, Sage Publications.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2003, Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia: Persepsi Dunia Usaha, USAID dan The Asia Foundation.
Sen, Amartya, 1988, The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds., Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince Publishers.
Thomas, Vinod et. al., 2000 The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C.
United Nations Conference Trade and Development (UNCTAD), 2002, World Investment Report.
World Bank, 2003, Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life, World Development Report, Oxford University Press.
World Bank, 2003, Brief for the Consultative Group on Indonesia, Indonesia: Beyond Macroeconomic Stability, Report No. 27374-IND, December.
World Bank, 2005, A Better Investment Climate for Everyone, World Development Report 2005, Oxford University Press.
World Bank, 2005, Indonesia Seeks Better Ways to Attract Investment, Retrieved December 3, 2005 from http://web.worldbank.org/wbsite/external/ indonesia/

0 comments:

Posting Komentar