Senin, 25 Oktober 2010

Catatan Kritis PP 38/2007

PP 38/2007:
TINJAUAN TEORITIK & KOMPARASI INTERNASIONAL



Agussalim

There is no absolute best way for deciding which level of government
should be responsible for particular public services.
McLure & Martinez-Vazquez, 2000.

1. Pendahuluan

Pengaturan kewenangan atau urusan pemerintahan antar berbagai level pemerintahan, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Jika ditelusuri ke belakang, pengaturan kewenangan setidaknya sudah dimulai sejak tiga dekade lampau ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (selanjutnya disingkat UU 5/1974). Secara eksplisit, daerah diserahkan wewenang, tanggung jawab, dan prakarsa sepenuhnya menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaannya. Dalam prakteknya, undang-undang ini tidak pernah dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Seiring dengan derasnya arus desentralisasi serta dipicu oleh krisis politik akibat konflik regional, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 22/1999) yang menandai secara monumental pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Melalui undang-undang ini pemerintah (pusat) memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah. Dengan tawaran ini, pemerintah (pusat) berharap ketidakpuasan daerah, sentimen kedaerahan, konflik regional, dan isu disintegrasi dapat diredam. Untuk kejelasan dan operasionalisasi kewenangan, selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah Propinsi Sebagai Daerah Otonom (selanjutnya disingkat PP 25/2000). Dalam perkembangannya, terjadi tarik-menarik dan multi-tafsir atas kewenangan yang telah diatur antara pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah.

Hanya berselang empat tahun kemudian, pengaturan kewenangan kembali direkonstruksi bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 32/2004), yang merupakan pengganti UU 22/1999.

Namun harus diakui bahwa meskipun pengaturan kewenangan telah mengalami rekonstruksi berkali-kali, pelaksanaan kewenangan tetap belum berjalan optimal. Masalahnya tidak terletak pada tataran konsep sebagaimana diatur di dalam peraturan perundangan, tetapi lebih pada tataran implementasi. Pelaksanaan kewenangan cenderung tidak dilakukan secara konsisten dan sungguh-sungguh. Tarik ulur dan multi tafsir atas kewenangan yang telah diatur, sangat kental mewarnai perjalanan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disingkat PP 38/2007), saya kira, lebih diinisiasi oleh keinginan untuk memperbaiki berbagai masalah yang muncul diseputar pelaksanaan kewenangan selama ini. Tetapi sekali lagi, tanpa sikap konsisten dan keseriusan pemerintah (pusat) untuk sungguh-sungguh menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah, pengaturan kewenangan tersebut tidak lebih dari sekedar omong kosong.

2. Perspektif Teoritik

Idealnya, desentralisasi didasarkan atas konvensi pembagian wewenang dengan menekankan pada distribusi kewenangan, bukan pemberian kewenangan. Secara tegas, Rondinelli dalam Cheema dan Rondinelli (1983) mengatakan bahwa desentralisasi tidak lain adalah perpindahan kewenangan dan pembagian kekuasaan dalam perencanaan, manajemen, dan pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat lokal.

Pandangan yang lebih luas bahkan melihat desentralisasi tidak hanya sekedar pembagian atau distribusi kewenangan. Dalam pandangan Mills dalam Lee dan Mills (1982) misalnya, desentralisasi memiliki tujuan politik yang penting, baik secara filosofis maupun pragmatis. Pada tingkatan filosofis, desentralisasi memberikan kesempatan munculnya partisipasi masyarakat dan kemandirian daerah serta menjamin kecermatan pejabat publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Sementara itu, pada tingkatan pragmatis, desentralisasi dianggap sebagai cara untuk mengatasi berbagai hambatan kelembagaan, fisik, dan administratif dalam tugas-tugas pembangunan. Senada dengan pendapat Mills tersebut, Conyers (1991) menyatakan bahwa desentralisasi merupakan bentuk pendidikan politik bagi masyarakat dan sebagai jalan untuk membina tanggung jawab daerah dalam melaksanakan tugasnya.

Jika mengacu pada perspektif di atas, maka secara konseptual pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memiliki kelemahan dalam dua hal, yaitu: (i) desentralisasi hanya didefenisikan sebagai penyerahan kewenangan dan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (the delegation of authority), dan belum diarahkan pada devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local governments). Padahal hanya the devolution of power-lah yang memungkinkan terwujudnya political equality, local accountability, dan local responsiveness (Mawhood, 1987); dan (ii) desentralisasi masih diintroduksi sepenuhnya oleh pemerintah pusat, padahal desentralisasi seharusnya juga berasal dari inisiatif daerah. Hal ini tampak jelas pada UU 32/2004 (pasal 1, ayat 7) yang menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara praksis, pembagian kewenangan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah juga memiliki kelemahan, karena hanya dimaksudkan untuk meredam konflik dan ketidakpuasan daerah. Untuk maksud itu, dari sisi politik dan administrasi, pemerintah (pusat) telah menyerahkan sejumlah kewenangan atau urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah. Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah (pusat) juga telah merealisasikan instrumen resource base allocation, yakni alokasi subsidi pemerintah pusat (langsung atau tidak langsung) kepada pemerintah daerah. Dengan tawaran ini, pemerintah (pusat) berharap dapat memenangkan kompetisi dalam arena konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

Pendekatan uniformitas dalam penentuan kewenangan yang didesentralisasikan juga merupakan kelemahan lainnya yang kerapkali menuai kritik. Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah cenderung seragam tanpa melihat apakah daerah itu berciri kota atau desa. Padahal, dalam kenyataannya, kebutuhan perkotaan (kota) akan berbeda jauh dengan kebutuhan pedesaan (kabupaten). Pendekatan uniformitas seperti ini mungkin memang akan memudahkan dari segi administrasi dan monitoring (pengawasan), tetapi akan kehilangan aktualisasinya dengan realitas yang ada. Aspek efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan urusan menjadi sesuatu yang sulit dicapai secara optimal.

Pendekatan uniformitas juga menafikan heterogenitas daerah. Sungguh amat naif, ketika diakui bahwa setiap daerah mempunyai kemampuan dan kapasitas sumberdaya (alam, manusia, keuangan, kelembagaan, dll.) yang berbeda, namun mereka dituntut untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang sama. Sebagai contoh, bagaimana mungkin pelaksanaan kewenangan dapat berjalan efektif jika pelimpahan kewenangan cenderung seragam, sementara fiscal transfer dan local taxing power antar daerah cenderung sangat timpang. Tragisnya lagi, ketika ada daerah yang tidak sanggup melaksanakan sejumlah urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepadanya, pemerintah (pusat) dapat mengambil alih urusan tersebut, namun pendanaannya tetap menjadi tanggungan APBD daerah bersangkutan.

Terlepas dari berbagai kelemahan di atas, bagi pemerintah daerah, isu pendelegasian kewenangan dari sisi pengeluaran (expenditure assignment), sesungguhnya tidak begitu menarik. Desentralisasi kewenangan dari sisi pendapatan, misalnya revenue and tax assignment, justru dipandang jauh lebih menarik. Pro-kontra, diskursus, polemik, dan tarik-menarik antara pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah justru lebih banyak terjadi di area ini. Profit sharing dan revenue sharing, tampaknya bagi daerah dianggap jauh lebih penting dan bermakna daripada power sharing. Dampaknya, masalah lainnya yang cukup mendasar seperti pengelolaan kewenangan, penguatan parlemen daerah, peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia/aparat, peningkatan kualitas kebijakan publik, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dan pemanfaatan keuangan daerah, perluasan partisipasi masyarakat, dan seterusnya, tampak tidak memperoleh perhatian secara proporsional.

3. Prinsip Pengaturan Kewenangan

Pada tataran teoritis, sedikitnya, ada empat prinsip atau kriteria yang lazim digunakan dalam pengaturan kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu (McLure and Martinez-Vazquez, 2002):

Prinsip efisiensi. Dalam menetapkan tanggung jawab pelayanan publik tertentu, biasanya dikaitkan dengan ukuran, jangkauan, atau luasan “area manfaat” dari pelayanan publik tersebut. Sebagai contoh, area manfaat pelayanan sanitasi jelas untuk komunitas lokal, sehingga cukup menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sedangkan area manfaat pengendalian lalu-lintas udara jelas untuk kepentingan nasional, dan karena itu, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah (pusat). Dengan demikian, area manfaat dapat diklasifikasi berdasarkan tingkatan pemerintahan. Dengan menggunakan prinsip ini, menyerahkan penyediaan pelayanan publik yang memiliki area manfaat yang luas kepada unit pemerintahan terkecil, dapat dianggap tidak efisien, misalnya, rumah sakit yang memberi pelayanan jasa secara regional tetapi semata-mata dibiayai oleh pemerintah tunggal. Padahal efisiensi pelayanan publik sesungguhnya dapat ditingkatkan jika dihubungkan dengan pembayaran fee, retribusi (service charges), atau pajak daerah (local tax) yang ditimbulkan oleh adanya pelayanan publik tersebut.

Prinsip redistribusi dan stabilisasi. Peran pemerintah yang berhubungan dengan isu pemerataan dan redistribusi pendapatan, seperti kesejahteraan sosial atau perumahan untuk penduduk miskin, dianggap sebagai domain pemerintah pusat. Pemerintah daerah dianggap tidak akan memikul tanggung jawab ini secara independen, karena akan “menarik” penduduk miskin dari daerah lain untuk berpindah. Meskipun pembiayaan untuk melaksanakan tanggung jawab ini menjadi beban pemerintah pusat, namun implementasinya dapat saja diserahkan kepada pemerintah daerah yang memiliki informasi yang akurat dan keunggulan komparatif. Sedangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan stabilisas makro-ekonomi, seperti investasi, pengangguran, dan inflasi, secara alamiah harus tetap berasal dari pemerintah pusat.

Prinsip no single best assignment. Penerapan kriteria ini akan memudahkan penentuan kewenangan dan tanggung jawab untuk masing-masing tingkatan pemerintahan yang berbeda. Namun, kriteria ini tidak selalu mampu memberikan solusi yang memuaskan. Beberapa pelayanan publik, seperti pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar, mungkin memiliki sifat lokal dan manfaatnya juga dirasakan secara lokal, namun karena memiliki kaitan dengan redistribusi pendapatan dan kesejahteraan sosial sehingga juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam kerangka ini, tidak relevan untuk memperbincangkan tanggung jawab terbaik untuk masing-masing tingkatan pemerintahan. Bagaimanapun, tanggung jawab terbaik bersifat dinamis tergantung, misalnya, pada kemajuan teknologi dan ketersediaan anggaran. Seringkali pula, terdapat moment tertentu yang menuntut tanggung jawab konkrit dari pemerintah daerah, namun kegagalan menjalankan tanggung jawab tersebut dapat memicu ketidakstabilan hubungan antar tingkatan pemerintahan.

Prinsip clear dan stable assignment. Penerapan prinsip ini penting bagi negara-negara yang beralih secara radikal dari sistem sentralisasi menuju sistem desentralisasi. Bagi negara-negara seperti ini, pengaturan kewenangan harus jelas dan tegas karena pada umumnya pemicu desentralisasi adalah krisis politik, konflik regional, dan ketidakpuasan daerah. Kegagalan untuk menetapkan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing tingkatan pemerintahan  melalui sebuah produk hukum yang clear, misalnya  dapat menyebabkan terjadinya konflik berkepanjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Efek berikutnya adalah inefisiensi dalam pelayanan publik. Pada situasi dimana anggaran pemerintah relatif terbatas, hampir selalu, ketiadaan pengaturan tanggung jawab yang tegas akan mendorong ke arah pelayanan publik yang tidak optimal.

Di Indonesia, sedikit berbeda dengan kriteria di atas, pengaturan kewenangan atau pembagian urusan pemerintahan didasarkan atas kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

4. Beberapa Catatan Kritis

a. Konsepsi Pengaturan

Kesan awal yang muncul ketika pertama kali membaca PP 38/2007 adalah pengaturan kewenangan masih kental dengan nuansa “the delegation of authority” dan bukan “the devolution of power”. Indikasinya sangat kuat. Pertama, pengaturan kewenangan sepenuhnya diintroduksi oleh pemerintah (pusat), bukan hasil konvensi antara pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah. Akibatnya, bagi pemerintah daerah, kewenangan yang dimilikinya lebih dirasakan sebagai pemberian, bukan hasil “kesepakatan bersama”.

Kedua, pengaturan kewenangan selalu dipandang dari sisi fungsi pengeluaran (expenditure assignment), bukan integrasi antara sisi fungsi pengeluaran dan fungsi penerimaan. Misalnya, pemerintah daerah diberi kewenangan di bidang perdagangan, namun kewenangan dimaksud lebih menceminkan fungsi pengeluaran. Sedangkan fungsi penerimaan yang terkait dengan bidang tersebut sama sekali tidak disebutkan, atau setidaknya terjadi pemisahan yang tegas antara kewenangan pengeluaran dengan kewenangan penerimaan.

Ketiga, pemerintah (pusat) menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, dan untuk menjalankan kewenangan tersebut, pemerintah daerah dibekali dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Ini sebetulnya bentuk lain dari juklak dan juknis yang selama ini dikritik sebagai bentuk pemasungan kreatifitas daerah. Perilaku ini sama sekali tidak sejalan dengan roh, nafas, dan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, mungkin fenomena ini dapat dianggap sebagai proses evolutif menuju resentralisasi.

b. Ketidakselarasan Aturan

Tampaknya ketidakselarasan aturan – atau mungkin inkonsistensi aturan? – sudah menjadi pemandangan yang lazim dalam era desentralisasi dan otonomi daerah. Menyangkut pengaturan kewenangan, ketidakselarasan aturan sedikitnya tampak pada tiga hal, yaitu:

Pertama, penggunaan istilah yang menyertai kata urusan pemerintahan. Pada PP 38/2007 disebutkan bahwa urusan pemerintahan “dibagi bersama” antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Sedangkan pada UU 32/2004 disebutkan bahwa pemerintah “melimpahkan sebagian” urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah. Frase “dibagi bersama” dan “melimpahkan sebagian” tentu saja memiliki makna dan konotasi yang sangat berbeda. Frase “dibagi bersama” lebih berkonotasi keterlibatan daerah dalam pengaturan kewenangan dan urusan pemerintahan. Juga lebih mengesankan adanya kesepahaman dan keharmonisan dalam pengaturan kewenangan. Sedangkan “melimpahkan sebagian” lebih bernuansa pemberian, anugrah, atau mungkin belas-kasihan. Pada frase yang disebut pertama, derajat otonomi ditentukan secara bersama oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah, sebaliknya pada frase yang disebut terakhir, derajat otonomi sangat tergantung kepada yang memberikan (pusat) dan bukannya yang membutuhkan (daerah).

Kedua, pengaturan jenis kewenangan atau urusan pemerintahan. Di dalam PP 38/2007 disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan terdiri atas 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan dimaksud dipisahkan atas urusan wajib dan urusan pilihan, yang masing-masing terdiri atas 26 dan 8 urusan. Sebaliknya, di dalam PP 58/2005 serta penjabarannya Permendagri 13/2006, urusan pemerintahan hanya terdiri atas masing-masing 25 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Perbedaan antara keduanya terletak pada dua hal: (i) urusan perpustakaan dan urusan ketahanan pangan disebutkan secara eksplisit sebagai urusan wajib di dalam PP 38/2007, namun sama sekali tidak disebutkan di dalam Permendagri 13/2006; dan (ii) perlindungan anak juga disebutkan sebagai urusan wajib (dirangkai dengan pemberdayaan perempuan) di dalam PP 38/2007, tetapi tidak disebutkan di dalam Permendagri 13/2006. Perbedaan ini akan memberi implikasi yang tajam terhadap sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah yang tengah dikembangkan saat ini.

Ketiga, basis pengaturan urusan pemerintahan. Di dalam UU 32/2004 disebutkan bahwa urusan masing-masing tingkatan pemerintahan berbasis pada bidang. Oleh karena itu, di dalam undang-undang tersebut urusan wajib pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sudah berbeda sejak penentuan jenis bidang. Sedangkan di dalam PP 38/2007, urusan masing-masing tingkatan pemerintahan berbasis pada dimensi. Kewenangan semua tingkatan pemerintah berada pada bidang, sub-bidang, dan sub-sub bidang yang sama. Perbedaan kewenangan hanya terletak pada dimensi dari setiap sub-sub bidang.

c. Potensi Over-lapping dan Multi-tafsir

Secara tegas, PP 38/207 menyebutkan bahwa ke-31 urusan pemerintahan dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ke-31 urusan pemerintahan dimaksud diklasifikasi menurut bidang, sub bidang, dan sub-sub bidang. Berdasarkan klasifikasi ini, kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan ditetapkan.

Pada situasi ini  meskipun telah dinyatakan di dalam PP 38/2007 bahwa tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan karena pembagian kewenangan sudah didasarkan atas kriteria  tumpang tindih kewenangan tetap sulit dihindari. Ini mengingat bahwa semua tingkatan pemerintahan berada pada bidang, sub bidang, dan sub-sub bidang kewenangan yang sama. Perbedaan kewenangan hanya terletak pada dimensi. Pada titik ini, terdapat tiga masalah, yaitu: (i) membagi dan menetapkan dimensi untuk setiap tingkatan pemerintahan bukanlah pekerjaan sederhana; (ii) setiap sub-sub bidang belum tentu bisa diklasifikasi menjadi tiga dimensi sesuai dengan tingkatan pemerintahan; (iii) kemungkinan terdapat satu dimensi yang kewenangannya dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan; dan (iv) ketika suatu sub-sub bidang terdiri atas sejumlah dimensi, tidak mudah membagi dimensi tersebut ke dalam kelompok kewenangan pemerintah (pusat), propinsi, atau kabupaten/ kota.

Jika demikian halnya, maka tarik-menarik dan multi-tafsir atas kewenangan yang telah diatur, akan kembali mewarnai perjalanan implementasi PP 38/2007. Ketika terjadi tumpang tindih kewenangan, pertikaian akan sulit dihindari. Dan seperti biasanya, pertikaian akan dimenangkan oleh pemerintah (pusat) karena pemilik tafsir berada di tangan pemerintah (pusat). Bukankah pengaturan kewenangan sepenuhnya diintroduksi dan diformulasi oleh pemerintah (pusat)?

5. Bagaimana di Negara Lain?

Dalam hal pendelegasian kewenangan, pengalaman internasional menunjukkan gambaran yang sangat bervariasi, tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut, tahap kemajuan yang dicapai masing-masing negara, strategi desentralisasi yang dipraktekkan, dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing negara.
Namun yang manarik, setelah desentralisasi diimplementasikan di banyak negara, akhirnya diakui bahwa pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam implementasi kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia dan kehidupan sosial. Argumentasinya sederhana, bahwa pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat yang akan menerima manfaat atas kebijakan publik, memiliki informasi yang lebih akurat mengenai preferensi masyarakat, dan lebih mudah mengembangkan akuntabilitas kepada masyarakat lokal – setidaknya jika dibandingkan dengan pemerintah (pusat).

Meskipun terdapat kesadaran semacam itu, namun masih saja banyak negara yang terperangkap pada situasi dimana terjadi duplikasi peran dan fungsi diantara berbagai tingkatan pemerintahan. Pada umumnya, duplikasi ini timbul karena tidak clear-nya sebuah pertanyaan penting: apakah pemerintah pusat perlu mempercayakan kepada pemerintah daerah untuk turut mendesain  tidak hanya sekedar mengimplementasikan¬  berbagai kebijakan publik. Dalam kerangka ini, pemerintah daerah bukan lagi sebagai perpanjangan tangan atau agen pemerintah pusat, tetapi lebih sebagai daerah yang otonom yang memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan dan mendesain kebijakan publik.

Di bidang pendidikan misalnya, pengalaman internasional memperlihatkan adanya variasi peran pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan layanan pendidikan. Di banyak negara, terutama di negara-negara OECD (pada umumnya menganut sistem pemerintahan federal), pemerintah pusat memainkan peran kunci dalam hal penetapan standar pendidikan dan pembiayaan, dan sama sekali tidak terlibat dalam hal pelayanan langsung, seperti manajemen personalia, persiapan anggaran, aktifitas pengadaan barang dan jasa, dan administasi (de Mello, 2004). Pemerintah provinsi memainkan peran penting dalam hal manajemen personalia dan administrasi. Namun di beberapa negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, peran tersebut sudah berada di tangan sekolah, bukan lagi di tangan pemerintah provinsi.

Di negara-negara Amerika Latin, pemerintah pusat juga membatasi diri pada kewenangan dan tanggung jawab tertentu. Di Argentina misalnya, kewenangan pemerintah pusat terbatas pada tiga hal, yaitu reformasi pendidikan, penilaian kinerja siswa, dan program pendidikan khusus untuk orang cacad. Sedangkan di Chile, mirip dengan Argentina, pemerintah pusat hanya fokus pada tanggung jawab penilaian kinerja siswa dan program pendidikan khusus.

Di Afrika, desentralisasi pendidikan juga mengalami kemajuan yang cukup pesat, yang bisa diamati dari aspek semakin meningkatnya partisipasi masyarakat. Keberadaan asosiasi orang tua siswa dan komite sekolah semakin menonjol dengan peran yang semakin luas. Di Afrika Selatan misalnya, komite sekolah dapat menentukan pembayaran dan jadwal sekolah. Mereka juga diberi fungsi untuk memelihara asset sekolah, menentukan kurikulum, membeli buku teks dan peralatan, dan membayar biaya jasa atas pelayanan yang diperoleh sekolah.

Di Belanda, pengaturan kewenangan di bidang pendidikan juga cukup menarik. Unit pelaksana pendidikan terendah sekalipun juga memiliki kewenangan. Sekolah misalnya, memiliki kewenangan yang berkaitan dengan rekruitmen tenaga pengajar. Pemerintah pusat hanya menetapkan kurikulum inti dan standar kinerja minimum. Selebihnya, ditangani oleh pemerintah kota (Municipalities).

Keseluruhan gambaran di atas menunjukkan bahwa (meskipun pendidikan tidak bisa mewakili seluruh bidang kewenangan) pengaturan kewenangan sangat bervariasi, baik antar kelompok negara maupun antar negara. Pengaturan kewenangan di masing-masing negara berlangsung secara evolutif dan merupakan hasil dinamika hubungan jangka panjang antar tingkatan pemerintahan.

Pada tingkatan makro desentralisasi, hampir semua negara, terutama negara-negara yang menganut sistem pemerintahan federal, menerapkan prinsip asymmetric decentralization. Pada sistem ini, pengaturan kewenangan, urusan pemerintahan, dan transfer fiskal, dibedakan, misalnya antara kawasan (federal), propinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka. Pemerintah (pusat) mendelegasikan kewenangan secara berbeda kepada pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan, kapasitas, dan kebutuhan daerah. Kanada, Belgia, India, dan dan Malaysia merupakan negara yang dinilai berhasil menerapkan asymmetric decentralization pada tingkat regional (Shah & Thompson, 2002).

Prinsip ini sangat kontras berbeda dengan Indonesia yang menganut prinsip uniform decentralization, dimana pengaturan kewenangan dan urusan pemerintahan disamakan antara seluruh propinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah (pusat) mendelegasikan kewenangan secara seragam kepada seluruh daerah, dan dengan demikian, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sama.

Apa yang dipraktekkan di Kanada, mungkin dapat menjadi bahan komparasi dengan Indonesia. Di Kanada misalnya, pemerintah pusat (central government) bisa saja memberi kewenangan khusus kepada suatu daerah tertentu, yang tidak diberikan kepada daerah lain. Quebec salah satu contohnya, dimana negara bagian ini memiliki kewenangan yang relatif luas dibanding negara bagian lainnya, baik dalam expenditure assignment maupun tax assignment. Meskipun gambaran ini seolah-olah seperti pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua, namun sesungguhnya berbeda secara filosofis. Quebec memperoleh otonomi khusus melalui proses panjang devolution of power, sedangkan NAD dan Papua memperolehnya semata-mata untuk meredam isu disintegrasi dan sentimen kedaerahan. Keduanya juga berbeda secara praksis. Quebec diberi otonomi khusus dari sisi pengeluaran dan penerimaan, sedangkan NAD dan Papua diberi otonomi khusus dalam bentuk kucuran fiscal transfer secara khusus dari pemerintah (pusat).

6. Penutup

Setelah mempelajari dengan seksama PP 38/2007 dan beberapa peraturan perundangan lainnya, katakanlah PP 58/2005 beserta penjabarannya dalam bentuk Permendagri 13/2006, sepertinya kita tidak bergerak menuju penguatan “desentralisasi”, tetapi justru kita berjalan mundur menuju “resentralisasi”.
Ketika penugasan sudah ditetapkan dan dilimpahkan, anggaran sudah dibagikan, dan juklak/juknis sudah disebarkan, lantas masih adakah maknanya “otonomi”?

Daftar Bacaan


Agussalim, 2007, Pengeluaran Pemerintah dan Pengentasan Kemiskinan, Jurnal “Ekonomi dan Bisnis”, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Surabaya, ISSN: 1410-9204 (Akreditasi B), Volume 9, Nomor 2, Juni, Hal. 169-184.
Agussalim, 2005a, Efektifitas Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Jurnal “Governance”, Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, ISSN: 1829-7544, Volume 1, Nomor 2, April-Juni, Hal. 125-135.
Agussalim, 2005b, Dana Alokasi Umum dan Keseimbangan Fiskal, Jurnal “Ekonomi”, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, ISSN: 0853-9049, Volume 7, Nomor 3, September, Hal. 160-169.
Agussalim, 2002, Dana Alokasi Umum: Sebuah Perspektif Daerah, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tantangan Kebijakan Fiskal Jangka Menengah” kerjasama DEPKEU, Bank Dunia, PEG-USAID, LPEM–UI, dan ISEI Cabang Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2002, di Hotel Sahid Jaya Makassar.
Bahl, Roy, 2002, How to Design a Fiscal Decentralization Program, dalam Shahid Yusuf, Weiping Wu, and Simon Evenett (Ed.), Local Dinamics in an Era of Globalization, The World Bank, Oxford University Press.
Cheema, G. Shabbir and Dennnis Rondinelli (Ed.), 1983, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Baverly Hills: Sage Publications.
Conyers, Diana, 1984, Decentralization and Development: a Review of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4.
Davey, Kenneth, 1989, Central-Local Financial Relation, Dalam Nick Devas, Financing Local Government in Indonesia, Ohio University, Monographs in International Studies, Southeast Asia Series No. 84.
De Mello, Luiz, 2004, Fiscal Decentralization and Subnational Expenditure Policy, Retrieved August 23, 2007 from http://www1.worldbank.org/publicsector/ LearningProgram/Decentralization.html.
Mawhood, Philip, 1987, Decentralization and the Third World in the 1980s, Planning and Administration, Vol. 14, No. 1.
McLure, C. and Jorge Martinez-Vazquez, 2000, The Assignment of Revenues and Expenditures in Intergovernmental Fiscal Relations, Paper prepared for the core course on Intergovernmental Relations and Local Financial Management, World Bank Institute, Washington, DC: World Bank.
Shah, Anwar and Theresa Thompson, 2002, Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures, Prepared for “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?”, A Conference Sponsored by the International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, May 1-3, 2002.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolan Keuangan Daerah.
The Asia Foundation, 2002, Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) Pertama, Laporan Penelitian.
Winkler, Donald L. and Alec Ian Gershberg, 2003, Education Decentralization in Africa: A Review of Recent Policy and Practice, Retrieved August 23, 2007 from http://www1.worldbank.org/publicsector/LearningProgram/Decentra-lization.html.
World Bank, 2003, Regional Public Expenditure Review, Decentralizing Indonesia, Report No. 21691-IND.

0 comments:

Posting Komentar