Minggu, 22 Februari 2015

Klinik Perencanaan



KLINIK PERENCANAAN: PERLUKAH?



Agussalim 

 Focal Point JiKTI Sulsel dan Peneliti Senior P3KM UNHAS



Gagasan-gagasan segar kerapkali muncul di tengah kondisi yang tidak ideal. Ide-ide brilian tak jarang lahir di tengah situasi yang karut marut. Pertemuan dengan beberapa pimpinan dan staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Raja Ampat, Sorong Selatan, dan Fakfak beberapa waktu yang lalu di Makassar – difasilitasi oleh Program Australia-Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD) – memunculkan gagasan baru tentang perlunya membangun “Klinik Perencanaan” di daerah. Munculnya gagasan ini dipicu oleh kegelisahan atas rendahnya kualitas perencanaan pembangunan daerah. Ketidakpuasan terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD, juga menjadi alasan lain dibalik munculnya gagasan ini. Karena gagasan ini diusung oleh para tenaga perencana di daerah, menjadikan gagasan ini tampak manarik untuk direspon.

Sesungguhnya, rendahnya kualitas perencanaan pembangunan daerah bukan hanya milik Raja Ampat, Sorong Selatan, dan Fakfak. Kisah serupa ditemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Ironisnya, meskipun masalah ini sudah menjadi cerita klasik, namun hampir tidak ada upaya signifikan untuk mengatasinya. Dari tahun ke tahun masalah yang sama terus berulang tanpa penyelesaian berarti. Kita dengan gampang bisa menyebutkan sederet masalah. Misalnya, desain perencanaan masih berbasis anggaran dan kegiatan (input and activity based) dan belum beralih ke perencanaan berbasis hasil (outcome based). Terjadi inkonsistensi antara perencanaan dan penganggaran. Perencanaan dirancang tanpa dukungan data dan fakta yang memadai. Perencanaan tidak dirancang sedemikian rupa untuk di monitoring dan di evaluasi. Koordinasi sektoral (antar SKPD) masih sangat lemah. Kualitas dan kelengkapan dokumen perencanaan di tingkat SKPD masih jauh dari memuaskan. Hasil monitoring dan evaluasi belum menjadi input dan feedback bagi desain perencanaan selanjutnya. Dan seterusnya. Jika mau jujur, kita sesungguhnya masih memiliki gulungan daftar masalah yang cukup panjang.

Lalu, kemana BAPPEDA selama ini. Harus diakui, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas seluruh perencanaan pembangunan daerah, BAPPEDA belum bekerja maksimal. Boleh jadi, ini terkait dengan kelembagaan BAPPEDA yang sangat kental dengan nuansa struktural, hirarkial, dan birokratis. Struktur organisasi seperti itu mungkin cocok untuk lembaga teknis - katakanlah dinas dan kantor - tetapi tentu saja tidak sesuai untuk lembaga ”think-tank” seperti BAPPEDA. Proses kreatifitas berpikir - sesuatu yang amat diperlukan di BAPPEDA - sulit tumbuh di lingkungan kerja yang mengedepankan struktur dengan pola kaku ”atasan-bawahan” dan bekerja berdasarkan atas ”instruksi-petunjuk”. Hampir tidak ada pihak di BAPPEDA, yang benar-benar ”secara utuh dan total” bekerja dari, untuk, dan atas nama perencanaan.

Dengan kondisi seperti ini, mungkinkah pembentukan “klinik perencanaan” di setiap daerah dapat menjadi solusi? Usulan ini memang berpotensi memicu perdebatan dan polemik. Jangan-jangan, keberadaan “klinik perencanaan” justru nantinya menjadi bagian dari masalah. Dapatkah diyakini bahwa “klinik perencanaan” akan sanggup secara efektif mengurai kesemrawutan praktek perencanaan selama ini? Adakah jaminan bahwa “klinik perencanaan” dapat berperan aktif dalam mengatasi hambatan-hambatan struktural dalam birokrasi yang seringkali membuat perencanaan tidak bisa berjalan secara dinamis? Apakah bisa dipastikan bahwa orang-orang yang nantinya berada di balik “klinik perencanaan” sungguh-sungguh memiliki kemampuan mumpuni untuk memberikan “terapi” di bidang perencanaan? Kesangsian semacam ini selalu punya tempat di balik setiap gagasan.

Tapi mari kita ambil positifnya. Bagaimanpun, kita membutuhkan “jalur lain” untuk mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan perencanaan, karena “jalur utama” yang selama ini kita tempuh terbukti gagal. Memang belum ada jaminan bahwa “jalur lain” tersebut akan berhasil, tetapi satu hal yang sudah pasti: “jalur utama” yang ditempuh selama ini terbukti tidak berhasil mengatasi masalah. Oleh karena itu, “jalur lain” setidaknya menawarkan peluang, dan karena itu, patut kita coba.

Pembentukan “klinik perencanaan” merupakan sebuah “jalur lain”, menyimpang dari “jalur utama”. Meski tidak ada jaminan sepenuhnya akan berhasil – karena begitu banyak faktor yang saling kait-mengkait yang menjadi penentu keberhasilan – namun setidaknya “jalur lain” secara implisit menawarkan sisi-sisi positif: cara pandang baru, pendekatan baru, proses baru, pola relasi baru, kebijakan baru, tindakan baru, dan boleh jadi, akan melahirkan inovasi dan kreatifiitas baru. Pembentukan “klinik perencanaan” – tanpa sepenuhnya disadari – akan menimbulkan efek “tersembunyi” berupa peningkatan kapasitas berpikir (melalui intellectual exercise) di kalangan para pengambil kebijakan dan aparat pemerintah daerah.

Jika argumentasi ini dapat diterima – tentu saja tidak harus ditelan mentah-mentah – dan kemudian mampu merangsang kita untuk membangun “klinik perencanaan” di daerah masing-masing, maka sedikitnya ada lima aspek yang perlu menjadi fokus perhatian, antara lain: 

Pertama, aspek legalitas. Untuk memperkuat kedudukan dan keberadaan “klinik perencanaan”, pemerintah daerah harus menyediakan payung hukum, minimal dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah.  Peraturan tersebut, sedikitnya harus memuat tugas dan fungsi, struktur kelembagaan, sumberdaya manusia, dan mekanisme kerja “klinik perencanaan”. Aspek lain bisa ditambahkan jika dirasa perlu. 

Kedua, tugas dan fungsi. Tugas dan fungsi “klinik perencanaan” dapat dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. Salah satu tugas utama yang harus diemban oleh klinik adalah membantu BAPPEDA dalam pelaksanaan tugas pengkoordinasian penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD. Adapun fungsinya adalah: (1) menfasilitasi dan mengasistensi penyusunan berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD (Renstra, Renja dan RKA/DPA SKPD); (2) terlibat secara aktif dalam penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJPD, RPJMD, RKPD, dan RAPBD); dan (3) membantu meningkatkan kapasitas dan kompetensi tenaga perencana di SKPD. Tugas dan fungsi ini juga dapat dikembangkan lebih jauh. 

Ketiga, struktur kelembagaan. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, “klinik perencanaan” harus berada atau menjadi bagian inheren dalam struktur kelembagaan BAPPEDA: mungkin dalam bentuk “badan ad-hoc”. Dengan demikian, badan ad-hoc ini bertanggung jawab langsung kepada Kepala BAPPEDA. Untuk memudahkan koordinasi, “klinik perencanaan” sebaiknya dipimpin oleh seorang koordinator (atau ketua). Struktur kelembagaan harus dibuat seramping mungkin, sefungsional mungkin, dan menghindari hirarki struktur yang terlalu berjenjang. 

Keempat, sumberdaya manusia. “Klinik perencanaan” sebaiknya dihuni oleh tenaga fungsional perencana (bukan pejabat struktural) yang di-SK-kan secara tersendiri oleh Kepala Daerah.  Mereka harus dibebaskan dari pekerjaan administratif-rutin-seremonial. Mereka benar-benar hanya fokus pada pekerjaan fungsional-subtantif-konstruktif di bidang perencanaan. Untuk efektifitas kerja, jumlah orang yang bekerja di klinik ini sebaiknya dibatasi sekitar 5 s/d 7 orang. Mereka-mereka ini harus pernah terlibat dalam kegiatan perencanaan minimal 5 tahun, punya pengalaman dan memiliki wawasan luas di bidang perencanaan. Mereka bisa direkrut dari BAPPEDA, BPKD, dan INSPEKTORAT DAERAH. Terkait dengan penugasan ini, pemerintah daerah perlu menyediakan “tunjangan fungsional’ bagi mereka. 

Kelima, mekanisme kerja. Seluruh perkembangan dan hasil kerja “klinik perencanaan’ harus dilaporkan kepada Kepala BAPPEDA. Dalam melaksanakan tugasnya, klinik ini juga harus mengembangkan koordinasi horizontal dengan Sekretaris dan Bidang-Bidang di lingkup BAPPEDA. Selain itu, klinik ini juga harus menfasilitasi dan mengasistensi penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD dan berkoordinasi dengan tenaga perencana di seluruh SKPD. Untuk mengefektifikan kerja-kerja klinik, badan ad-hoc ini harus menyusun modul dan manual perencanaan, menyusun pedoman dan template cara pengisian berbagai matriks dalam dokumen perencanaan dan penganggaran, dsb., yang nantinya menjadi rujukan dan referensi bagi tenaga perencana SKPD dalam menyusun dokumen perencanaan dan penganggarannya.

Hampir bisa dipastikan bahwa “klinik perencanaan” tidak akan bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal tanpa dukungan dan supporting dari luar. Perguruan tinggi dan lembaga-lembaga donor perlu mengambil peran signifikan untuk memperkuat eksistensi “klinik perencanaan”. Mereka harus memberi dukungan secara berkelanjutan kepada “klinik perencanaan”, minimal untuk tiga hal, yaitu: penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas SDM, dan fasilitasi penyusunan produk-produk perencanaan (modul, manual, buku pedoman, dll.).

Sekiranya “klinik perencanaan” ini benar-benar telah terbentuk di daerah, selanjutnya kita sisa berharap mudah-mudahan klinik ini dapat bekerja seoptimal mungkin untuk meningkatkan kualitas perencanaan di daerah. Jika tidak, tampaknya kita harus berpikir ulang.

Makassar, 20 Februari 2015