Rabu, 04 Maret 2015
Ketimpangan
18.04
Sosial
BAHAGIA DI ATAS KETIMPANGAN, MUNGKINKAH? *)
Oleh: Agussalim
Ketua ISEI Cabang Makassar/Dosen FE-UNHAS
Kita semua hidup di dunia yang timpang dan penuh kesenjangan, demikian
ungkapan Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya yang terkenal: Why Nation Fail (Mengapa Negara Gagal).
Mereka yang hidup di negara-negara kaya, dapat menikmati hidup yang lebih
sehat, usia harapan hidup yang lebih panjang, dan menikmati pendidikan yang
lebih bermutu. Mereka juga bisa mengakses berbagai kemewahan dan berbagai pilihan
hidup yang lebih beragam seperti pilihan karier dan tempat tujuan wisata yang
mungkin tidak pernah diimpikan oleh penduduk yang hidup di negara-negara
miskin. Penduduk di negara makmur, juga menikmati jalan aspal yang mulus,
pasokan listrik tanpa batas, air bersih yang bisa langsung di minum di keran, dan
toilet yang bersih. Kondisi semacam ini hampir tidak dijumpai di negara-negara
miskin dan terbelakang.
Fenomena ketimpangan tidak hanya berlangsung antar negara, tetapi juga
antar wilayah atau antar kelompok masyarakat dalam sebuah negara. Indonesia
dapat menjadi contoh baik untuk hal ini. Maluku, sebagai salah satu
provinsi termiskin di Indonesia memiliki pendapatan per kapita hanya sekitar
seperlima dari rata-rata Nasional dan sepersepuluh dari Kalimantan Timur. Distribusi kegiatan ekonomi yang
tidak merata ini kemudian tercermin dalam perbedaan yang besar dalam kondisi
kehidupan masyarakat. Tingkat kemiskinan di Kota Depok di pinggiran Jakarta
hanya 2,8 persen, bandingkan dengan 49,5 persen di Kabupaten Daiyai di ujung
paling timur Indonesia (Papua). Jurang kesenjangan ini terus
memisahkan antara daerah kaya dengan daerah miskin tanpa menunjukkan
tanda-tanda konvergensi.
Kesenjangan
yang sangat mencolok juga tampak antar kelompok penduduk. Sudah sejak lama
diberitakan, 40 orang terkaya
di Indonesia menikmati di atas 10 persen kue ekonomi Nasional (baca: Produk
Domestik Bruto). Yang menarik, catatan Majalah Forbes tiga tahun lalu menunjukkan
bahwa kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia meningkat rata-rata sekitar 80
persen per tahun. Bandingkan dengan 20 persen penduduk yang berada di strata terbawah
pengukuran distribusi pendapatan, yang hanya menikmati kurang dari 5 persen kue
ekonomi Nasional. Pergerakan angka Indeks Gini dari 0,35 (2008) menjadi 0,41
(2013) hanya sekedar mengkonfirmasi fakta bahwa ketimpangan dari waktu ke waktu
kian melebar.
Bagaimanapun, disparitas
yang menganga lebar berpotensi memantik keresahan dan amarah rakyat yang
membawa konsekuensi politik dan keamanan serius. Ketimpangan yang akut – yang
seringkali muncul akibat institusi negara yang ekstraktif, kekuasan yang
oligarki, kebijakan yang tidak adil, alokasi sumberdaya yang memihak – terbukti
telah memantik kerusuhan di berbagai belahan dunia. Mesir, Tunisia, Libya, Suriah,
dan beberapa negara lain, dapat menjadi contoh paling jelas mengenai hal ini.
Karena itu, ketika
membaca publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa Indonesia mengalami
peningkatan Indeks Kebahagiaan (The
Happiness Index), di tengah ketimpangan yang kian melebar, tentu saja,
menyimpan keraguan. Mengapa?
Pertama, kita semua mengalami paradoks kesejahteraan (paradox of progress). Bagaimana bekerjanya paradoks ini
dijelaskan oleh Robert Frank, seorang ekonom dari Universitas Cornell Amerika
Serikat (2004): bila orang-orang melihat ke sekelilingnya dan menemukan bahwa
orang lain memiliki kekayaan yang sama atau lebih baik, mereka mungkin pada
akhirnya merasa kurang bahagia dibandingkan sebelumnya. Dengan demikian,
kebahagian mungkin lebih ditentukan oleh kekayaan atau pendapatan relatif ketimbang
kekayaan atau pendapatan absolut.
Asumsi selama ini yang menyatakan bahwa tingkat
pendapatan absolut adalah penentu utama kesejahteraan, ternyata tidak
sepenuhnya benar. Hasil survei yang dilakukan secara konsisten, memperlihatkan
bahwa ketika pendapatan semua orang bertumbuh pada tingkat yang
sama, tingkat rata-rata kebahagiaan tetap sama. Namun pada saat
tertentu, ketika pola kenaikan pendapatan berlangsung secara asimetris,
orang-orang yang mengalami kenaikan pendapatan lebih cepat akan merasa lebih
bahagia, dan sebaliknya, yang lebih lambat merasa tidak bahagia. Temuan ini
kembali menegaskan bahwa pendapatan relatif jauh lebih baik sebagai prediktor kesejahteraan ketimbang pendapatan absolut.
Dengan
demikian, kemajuan, terutama yang bersifat absolut, menjadi tidak begitu
membahagiakan. Kemajuan yang lebih baik yang dicapai orang lain, menyebabkan
mereka tidak menyadari betapa baiknya kondisi mereka sekarang dibandingkan
dengan sebelumnya.
Kedua, kita semua mengalami efek kontras (contrast effect), sebagaimana diungkapkan oleh Rolf Dobelly dalam
bukungan The Art of Thinking Clearly. Kita menilai sesuatu indah, mahal atau
besar jika dihadapan kita ada sesuatu yang jelek, murah dan kecil. Kita punya
masalah dengan penilaian mutlak. Untuk memahami efek kontras, lakukan percobaan
berikut: ambil dua ember dan kemudian isi ember pertama dengan air hangat dan
ember kedua dengan air es. Masukkan tangan kanan Anda ke dalam air es selama
satu menit. Lalu masukkan kedua tangan Anda ke dalam air hangat. Apa yang Anda
rasakan? Air hangat terasa seperti yang seharusnya di tangan kiri dan terasa
panas menyegat di tangan kanan.
Gara-gara efek kontras, Anda akan menilai posisi Anda terhadap orang lain.
Efek kontras tidak terlalu terasa jika Anda hidup dipelosok pedalaman, namun akan
sangat terasa ketika Anda hidup di kota metropolitan. Anda boleh jadi sudah
hidup berkecukupan dengan taraf hidup di atas rata-rata, tetapi tetap merasakan
adanya kesenjangan karena tetangga Anda hidup di gedung bak istana dan
digarasinya penuh dengan mobil-mobil mewah yang berharga selangit.
Ketiga, manusia selalu berpikir relatif. Wijayanto Samirin dalam bukunya Bridging the
Gap, mengungkapkan bahwa manusia mempunyai cara berpikir yang unik. Otak kita
tidak pintar mengukur atau menilai sesuatu, tetapi sangat terlatih untuk
membandingkan. Dampaknya, segalanya cenderung bersifat relatif. Apakah itu
gelap-terang, baik-buruk, besar-kecil, kaya-miskin, bahagia-sengsara,
cepat-lambat, sebenarnya merupakan hasil otak kita membandingkan dengan
referensi tertentu. Relativitas berpikir manusia muncul secara alamiah, karena
memang otak kita di desain dengan cara kerja seperti itu.
Manusia memang selalu berfikir relatif. Itu sebabnya mengapa masyarakat
Bhutan, sebuah negara di ujung dunia yang dulu selalu menempati posisi puncak
dalam rangking negara yang paling bahagia, saat ini mulai menuai masalah. Penduduk
disana terutama anak-anak muda mulai merasa gelisah dan gusar. Sebenarnya tidak
banyak yang berubah di sana kecuali semakin maraknya internet dan televisi
sejak 15 tahun yang lalu. Produk teknologi tersebut membuat rakyat Bhutan bisa
melihat dunia yang selama ini seolah tertutup oleh tingginya Pegunungan
Himalaya. Mereka pun menemukan standar baru tentang apa itu sukses, makmur,
pembangunan, dan kebebasan berekspresi. Rangking sebagai negara yang paling
bahagia, terus melorot.
Paradoks kesejahteraan, efek kontras, dan berfikir relatif itulah yang
membuat ketimpangan ekonomi menjadi isu penting. Ketimpangan membuat manusia
bisa membandingkan berbagai fenomena yang ia lihat, alami dan rasakan. Fenomena
kesenjangan menjadi referensi, dan karenanya berpotensi menurunkan tingkat
kebahagian mereka. Benar bahwa Indeks Kebahagian BPS tidak hanya mengukur
dimensi ekonomi semata, tetapi dimensi ekonomi sudah sejak lama menjadi pilar
utama penentu kebahagiaan. Bukankan orang bijak mengatakan: Anda boleh bicara
apa saja, setelah perut Anda sudah terisi.
Maka benarlah ungkapan Gede Prama, seorang guru spritual, bahwa kemajuan
orang lain menjadi ukuran kecepatan kita dalam berlari. Mempersempit jarak
ketimpangan dan kesejangan menjadi sesuatu yang harus terus diupayakan tanpa
henti, karena ternyata ... ia penentu kebahagiaan.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi Kamis, 26 Februari 2015.