Minggu, 22 Maret 2015

Pertumbuhan Inklusif


MERAIH PERTUMBUHAN EKONOMI YANG INKLUSIF

Oleh: Agussalim
Ketua ISEI Cabang Makassar/Dosen FEB-UNHAS



Pertumbuhan ekonomi tanpa disertai pemerataan, tidak terlalu bermakna. Namun meraih keduanya secara bersamaan bukanlah perkara mudah. Para ekonom pun punya pandangan berbeda mengenai hal ini. Mengorbankan pemerataan seringkali diperlukan guna meraih pertumbuhan, kata para ekonom penganut aliran capital fundamentalism. Pertumbuhan hanya bisa berlangsung ketika ketimpangan justru eksis dalam masyarakat, terutama pada fase awal pembangunan, kata ekonom Simon Kuznets, 60 tahun lampau. Meski relasi antara pertumbuhan dan ketimpangan telah memicu debat panjang, namun tetap ada keinginan kuat untuk ”mengawinkan” keduanya. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah gagasan konseptual terus diperkenalkan, mulai dari redistribution with growth, the quality of growth, broad-based growth, pro-poor growth, hingga inclusive growth.

Seluruh gagasan ini menjadi tampak menarik ketika dikontekskan dengan perekonomian Sulawesi Selatan. Dalam 10 tahun terakhir, perekonomian Sulawesi Selatan bertumbuh cukup impresif dikisaran 7,02 persen per tahun. Capaian ini tidak hanya melampaui pertumbuhan ekonomi Nasional (rata-rata 5,50 persen per tahun), tetapi juga menempatkan Sulawesi Selatan, bersama dengan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi sekaligus sebagai kawasan paling dinamis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang akseleratif dan persisten tersebut telah berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan per kapita Sulawesi Selatan. Dalam 10 tahun terakhir, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan telah meningkat lebih dari empat kali lipat, yaitu dari Rp 5,18 juta pada tahun 2004 menjadi Rp 22,15 juta sepuluh tahun kemudian.

Namun dibalik fakta menggembirakan itu, muncul fakta lain yang cukup merisaukan, yaitu jurang ketimpangan justru semakin melebar. Indeks Gini, yang lazim digunakan untuk mengukur ketimpangan, bergerak cepat dari 0,31 pada tahun 2003 menjadi 0,43 pada tahun 2013. Dengan kata lain, derajat ketimpangan di Sulawesi Selatan bergeser dari kriteria “moderat” menuju kriteria “tinggi”. Angka 0,43 bukan hanya berada di atas angka Nasional (0,41), tetapi juga telah memposisikan Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah dengan tingkat ketimpangan tertinggi setelah Papua, Gorontalo dan Yogyakarta. Sulawesi Selatan juga mencatatkan diri sebagai salah satu propinsi dengan peningkatan ketimpangan paling tajam dalam satu dekade terakhir, bersama dengan Sulawesi Utara, Gorontalo, DKI Jakarta, dan Maluku.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan melebarnya ketimpangan di sisi lain, sesungguhnya mengungkapkan banyak hal: (1) kemajuan ekonomi Sulawesi Selatan lebih bias ke kelompok masyarakat klas atas (top level) ketimbang klas bawah (bottom level); (2) orang-orang kaya memperoleh irisan ”kue ekonomi” yang semakin besar relatif terhadap orang-orang miskin seiring dengan kemajuan ekonomi Sulawesi Selatan; (3) secara implisit, fakta ini menunjukkan bahwa desain kebijakan selama ini lebih diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ketimbang mewujudkan pemerataan; dan (4) jika fenomena ini terus berlanjut di masa depan, maka akan terjadi pemusatan penguasaan asset dan mesin ekonomi pada kelompok tertentu saja, dan tentu saja, memiliki efek merusak dalam jangka panjang, terutama dilihat dari aspek stabilitas sosial, politik dan keamanan.

Jika ditelisik lebih jauh, tampaknya ada banyak faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tidak berjalan paralel dengan pemerataan. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan digerakkan oleh sektor tertier. Sektor tertier bukanlah sektor yang menyerap kesempatan kerja yang besar, setidaknya jika dibandingkan dengan sektor sekunder (industri). Pendapatan yang diterima oleh mereka yang bekerja di sektor tertier relatif lebih besar ketimbang mereka yang bekerja di sektor primer (pertanian). Ketika sektor primer bertumbuh lambat, dan sektor sekunder cenderung stagnan, ketimpangan menjadi fenomena yang tak terelakkan.

Kedua, mesin pertumbuhan Sulawesi Selatan bersumber dari sektor perdagangan. Hampir pasti bahwa perekonomian yang digerakkan oleh sektor perdagangan tidak mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Sebab, inti pertumbuhan ekonomi adalah menciptakan nilai tambah (added value), bukan sekedar margin keuntungan (profit margin). Perekonomian yang bertumpu pada perdagangan berpotensi mendorong nilai mata uang menjadi tidak stabil, mendongkrak inflasi ke level yang lebih tinggi, menurunkan tingkat produktivitas, memperbesar defisit perdagangan, dsb. Hal ini tidak terjadi ketika perekonomian digerakkan oleh penciptaan nilai tambah. Situasi ini memberi dampak berbeda terhadap para pelaku ekonomi, yang kemudian melahirkan ketimpangan.

Ketiga, transformasi struktur ekonomi Sulawesi Selatan bergerak jumping dari sektor primer ke sektor tertier. Fenomena semacam ini dikenal dengan istilah “dutch disease”, yaitu suatu kondisi dimana booming komoditas (akibat eksploitasi sumberdaya alam) akan menyebabkan aliran modal dari pendapatan komoditas meningkat, dan pada gilirannya akan mengakibatkan permintaan yang lebih tinggi untuk barang yang tidak diperdagangkan seperti jasa (telekomunikasi, restoran, hotel, dll.) dan konstruksi. Akibatnya, sektor industri kurang berkembang dan pada gilirannya akan menekan pertumbuhan sektor industri. Fakta mengenai kecilnya dan stagnannya kontribusi sektor industri terhadap pembentukan PDRB hanya sekedar mengkonfirmasi gejala ini.

Keempat, dari sisi demand, perekonomian Sulawesi Selatan lebih bertumpu pada aktifitas konsumsi, baik oleh masyarakat (rumah tangga dan swasta) maupun pemerintah. Pada tahun 2013, konsumsi masyarakat dan pemerintah masing-masing menyumbang 48,04 persen dan 33,29 persen terhadap PDRB. Meskipun pembentukan modal menyumbang 29,73 persen terhadap PDRB, tetapi ekspor bersih (selisih antara ekspor dan impor) berkontribusi negatif terhadap PDRB, yaitu -12,59 persen. Ini bukan situasi yang sehat bagi perekonomian. Perekonomian yang digerakkan oleh sektor konsumsi biasa disebut pertumbuhan ekonomi semu karena tidak digerakkan oleh sektor produktif.

Keseluruhan deskripsi di atas menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tidak memberi dampak luas terhadap penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka. Selama 10 tahun terakhir, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan hanya berkurang rata-rata 2,30 persen per tahun dan jumlah pengangguran terbuka menurun di bawah 10 persen per tahun. Mudah dimengerti kemudian mengapa angka elastisitas pertumbuhan-kemiskinan dan elastisitas pertumbuhan-pengangguran yang dicapai oleh Sulawesi Selatan relatif lebih rendah dibanding capaian Nasional.

Karena fakta-fakta inilah, mengapa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan belum bisa dianggap inklusif. Secara konseptual, pertumbuhan inklusif lebih mementingkan indikator-indikator kesejahteraan (welfare) ketimbang indikator pertumbuhan (growth). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi konvensional dan pendapatan per kapita, yang selama puluhan tahun dijadikan sebagai indikator utama pembangunan, dianggap sudah tidak relevan lagi dan perlu segera dikoreksi. Sebaliknya, kemampuan daya beli dan konsumsi, akses terhadap pangan dan pekerjaan, akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, akses terhadap sumberdaya ekonomi dan kepemilikan asset, dan lingkungan perumahan dan pemukiman yang sehat, dianggap sebagai indikator pembangunan yang lebih realistik karena lebih mencerminkan kualitas pembangunan yang sesungguhnya. Ke dimensi-dimensi inilah, seluruh kebijakan-program-kegiatan-anggaran pemerintah daerah seyogyanya diarahkan di masa depan.

Kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah merupakan sasaran akhir (ends) tetapi hanya sarana (means) untuk mencapai sasaran akhir (berupa kesejahteraan), telah menjadi landasan kuat bagi berkembangnya dan meluasnya konsep pertumbuhan inklusif. Semakin disadari bahwa pertumbuhan ekonomi konvensional tidaklah cukup, karena yang jauh lebih penting adalah perbaikan kualitas hidup masyarakat tanpa kecuali. Desain pembangunan harus memastikan bahwa aktifitas ekonomi tidak boleh memusat pada segelintir kecil orang, kemajuan ekonomi harus bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, kesenjangan pendapatan tidak boleh dibiarkan semakin melebar tajam, kantong-kantong kemiskinan tidak boleh dibiarkan kian menjamur, proses marginalisasi masyarakat pinggiran tidak boleh terus berlangsung, dan aksessibilitas masyarakat miskin terhadap sumberdaya, asset, dan pasar sama sekali tidak boleh terhambat. Kesemuanya ini membutuhkan langkah konkrit dan sungguh-sungguh. Bukan sekedar retorika, apalagi janji-janji palsu.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, edisi 8 Maret 2015