Senin, 06 April 2015
INDEKS KEBAHAGIAAN
16.56
Sosial
INDEKS KEBAHAGIAAN:
ANTARA SIMPLISITAS DAN KOMPLEKSITAS
Oleh: Agussalim
Focal Point JiKTI Sulsel dan Dosen FE-UNHAS
Untuk kesekian kalinya,
Indeks Kebahagiaan (The Happiness Index)
yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu yang lalu, mengusik nalar
akademik saya. Alasannya sederhana, kebahagiaan merupakan sesuatu yang sangat
kompleks dan rumit, dan karena itu, simplikasi terhadapnya bisa menimbulkan
kerancuan. Itulah sebabnya mengapa para ekonom tidak pernah memasuki wilayah
kebahagiaan (happiness), tetapi lebih
mencurahkan perhatian pada dimensi kesejahteraan atau kemakmuran (welfare). Berbeda dengan kesejahteraan
yang mudah diukur (karena bersifat materiil), kebahagiaan sangat sulit dikuantifikasi
(karena bersifat immateriil dan melibatkan
kondisi psikis, emosi dan spritual).
Jika ditelusuri ke
belakang, memang sudah sejak lama, para filosof menegaskan bahwa kebahagiaan
adalah tujuan utama kehidupan. Aristoteles menyebutnya dengan summum bonum (puncak kebaikan).
Sekalipun kita menginginkan hal-hal lain, seperti uang, harta, jabatan, dan kekuasaan,
sebenarnya karena kita yakin bahwa itu semua akan membuat kita bahagia.
Meskipun selama
berabad-abad telah diperdebatkan, pertanyaan tentang apa sesungguhnya
kebahagiaan itu, dan apakah ia betul-betul ada, belum juga terjawab, atau
paling tidak, belum tersedia jawaban yang memuaskan. Barangkali ia hanyalah
nama yang kita sematkan pada sebuah kondisi tak tergapai, ketika tiada lagi hal
yang kita hasrati. Namun, kendatipun kondisi kebahagiaan sempurna mungkin hanyalah
sebuah ilusi, kita semua mengakui bahwa ada saat-saat ketika kita relatif
merasa puas, nyaman, senang, dan riang dibandingkan saat-saat lainnya.
Pencarian momen-momen seperti itulah yang menjadi summum bonum bagi setiap orang.
Para filosof jauh-jauh
hari sudah mencermati bahwa tidak ada jalan tunggal menuju kebahagiaan: apa
yang membawa kesenangan bagi seseorang, bisa jadi tidak menyenangkan bagi orang
lain. Kebahagiaan merupakan sebuah teka-teki klasik yang membingungkan dan
bahkan seringkali memunculkan hasil yang tak disangka-sangka. Umpamanya,
berkebalikan dengan pandangan umum, uang dan kepemilikan materiil tampaknya
tidak meningkatkan kebahagiaan melebihi batas minimum. Dengan kata lain, jika
Anda sangat miskin, mendapatkan lebih banyak uang membuat Anda lebih bahagia.
Di sisi lain, bila Anda sudah sangat kaya, tambahan uang bisa jadi tidak akan
memberikan kesenangan yang cukup berarti. Begitu pula bagi banyak orang yang
tidak tahu dari mana mereka akan mendapatkan makanan untuk besok, terpuaskan
rasa lapar akan menimbulkan kebahagiaan. Namun, bagi orang yang cukup beruntung
dan tidak perlu mencemaskan kecukupan fisiologisnya, makanan yang cukup
tidaklah begitu berarti.
Kajian-kajian lain
memperlihatkan bahwa orang yang tertimpa musibah, semisal lumpuh atau buta,
merasa sangat risau selama beberapa bulan. Namun, setelah itu mereka segera
kembali ke tingkat kebahagiaan normal mereka. Sebaliknya pula, orang-orang yang
kaya mendadak, seperti para pemenang lotre, sedikit lebih bahagia selama
beberapa bulan, kemudian kembali ke kondisi mereka sebelumnya. Riset semacam itu menyimpulkan bahwa setiap
orang punya warisan rentang-tetap kebahagiaan, yang relatif tidak terpengaruh
oleh peristiwa-peristiwa eksternal.
Kisah berikut mungkin
bisa menjelaskan hal ini lebih jauh. Seandainya suatu hari telepon Anda
berdering dan seseorang memberitahu Anda dengan bersemangat bahwa Anda baru
saja memenangkan lotre Rp 1 milyar. Bagaimana perasaan Anda? Dan berapa lama
Anda akan merasa seperti itu? Apakah memenangkan lotre membuat Anda menjadi
orang yang paling berbahagia selama bertahun-tahun yang akan datang? Tidak
begitu, menurut Dan Gilbert, ahli psikologi Universitas Harvard. Dia telah
mempelajari para pemenang lotre dan menemukan bahwa efek kebahagiaan akan pudar
setelah beberapa bulan. Jadi, tak berapa lama setelah Anda menerima uang yang
besar, Anda akan kembali ke kondisi sebelumnya.
Kisah yang disampaikan
oleh Rolf Dobelli, seorang novelis Swiss, juga menarik untuk disimak. Temannya,
seorang eksekutif perbankan dengan pendapatan yang sangat besar, yang membuat
dia mulai boros, memutuskan untuk membangun sebuah rumah diluar kota untuk
dirinya sendiri. Mimpinya diwujudkan menjadi vila dengan 10 kamar, kolam
renang, lengkap dengan pemandangan danau dan pegunungan yang membuat iri. Untuk
beberapa minggu pertama dia berseri-seri dengan kebahagiaan. Namun tidak lama
kemudian, keceriannya menghilang, dan enam bulan setelahnya dia merasa sangat
tidak bahagia. Apa yang terjadi? Ternyata vila itu tidak lagi menjadi
impiannya. Kebahagiaanya menguap entah kemana seiring berjalannya waktu.
Saya yakin kisah berikut
ini pasti pernah Anda alami. Ketika suatu hubungan cinta berakhir, rasanya
hidup tidak akan pernah sama kembali. Mereka yang menderita benar-benar yakin bahwa
mereka tidak akan pernah lagi merasakan kebahagiaan, tapi setelah tiga atau
beberapa bulan kemudian, mereka akan kembali berkencan. Dengan mata berbinar
dan wajah sumringah, mereka memamerkan kebahagiaannya kemana-mana.
Kebahagiaan memang
sesuatu yang sangat kompleks. Hubungan antar manusia yang sangat kuat misalnya
– seperti perkawinan yang langgeng, persahabatan yang tulus, anak-anak yang
mengabdi pada orang tua – sangat terkait dengan kebahagiaan. Watak terbuka (extrovert) dan optimistik bisa sangat
membantu dalam meraih kebahagiaan. Sebaiknya, watak ambisius mudah terjebak
dalam situasi tidak bahagia. Warga negara di negara-negara dengan pemerintahan
yang stabil dan demokratis – seperti Belanda, Swiss, Selandia Baru – umumnya
juga sangat bahagia. Ketika pemilihan umum yang bebas digelar di Afrika Selatan
pada tahun 1994, kebahagiaan para penduduknya, khususnya yang berkulit hitam,
berkembang secara sangat signifikan. Namun setelah itu kebahagiaan mereka
merosot hampir ke level sebelum pemilihan umum.
Kebahagiaan ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor yang
sangat beragam. Jika meminjam hirarkhi kebutuhan (hierarchy of needs) dari Abraham Maslow, kebahagiaan tampaknya sangat ditentukan
oleh posisi manusia dalam hirarkhi. Mereka yang berada di hirarkhi terbawah,
kecukupan fisiologis, seperti makanan, busana dan rumah, bisa membuat mereka
merasa bahagia. Sedangkan mereka yang berada di puncak hirarkhi, memiliki
kekuasaan, ketenaran, dan kemasyhuran, merupakan elemen-elemen yang
membahagiakan mereka. Menjadi sangat jelas, kebahagiaan terus bergerak maju.
Anda tidak akan pernah mencapai kebahagiaan sempurna, sebab pikiran Anda selalu
berada satu langkah di depan. Anda selalu bisa membayangkan satu langkah yang
lebih sempurna dari apa yang bisa Anda raih saat ini. Ini sebuah perkembangan
yang tidak berkesudahan (open-ended).
Kebahagiaan tidak pernah berhenti pada satu titik secara absolut.
Oleh karena itu, hampir
bisa dipastikan bahwa Indeks Kebahagiaan tidak mungkin bisa merekam semua
dimensi yang dikemukakan di atas. Karena kebahagiaan begitu kompleks: sangat
subyektif, persepsional, kontekstual, bersifat relatif, bersifat individual, sangat
dinamis, bargantung pada hirarkhi sosial, bersifat temporer, mudah berubah
seketika, dsb., maka berhentilah mengukur kebahagiaan. Kecuali jika Anda memang
sangat menyukai statistik. Mungkin karena itulah, Albert Einstein pernah
mengingatkan bahwa ”tidak semua yang bisa
diukur itu penting, dan tidak semua yang penting itu bisa diukur.”
Makassar, Akhir Maret 2015
*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian Fajar, Edisi 1 April 2015