Senin, 26 Desember 2016

Economic Outlook Makassar

Catatan Akhir Tahun
ECONOMIC OUTLOOK KOTA MAKASSAR
Agussalim
Ketua ISEI Cabang Makassar / Dosen FEB - UNHAS

Kota Makassar, selain telah menjadi salah satu daerah paling dinamis di Indonesia, juga telah menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Ini terjadi karena Kota Makassar telah mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, meskipun mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Secara rata-rata, ekonomi Kota Makassar bertumbuh 8,68 persen per tahun dalam lima tahun terakhir. Tahun ini perekonomian Kota Makassar diperkirakan akan bertumbuh dikisaran 7,5 – 7,7 persen dan kemudian diproyeksikan meningkat menjadi 7,8 – 8,0 persen pada tahun 2017.
Perkiraan ini sesungguhnya tergolong moderat, karena Kota Makassar pernah mencatat pertumbuhan ekonomi dua digit (10,36%) di tahun 2011. Perkiraan moderat ini mudah dipahami mengingat perekonomian global, nasional, dan regional masih tetap melambat pada tahun 2016 dan 2017, dimana situasi ini tentu saja akan berdampak terhadap geliat perekonomian Kota Makassar. Optimisme di awal tahun 2016 bahwa perekonomian global bisa bertumbuh 3,3 persen, nasional bertumbuh 5,3 persen, dan Sulawesi Selatan bertumbuh 7,8 persen, harus terkoreksi di akhir tahun ke level yang lebih rendah. Perekonomian global, menurut perkiraan Bank Dunia, hanya bisa bertumbuh 3,1 persen. Sedangkan Pemerintah dan Bank Indonesia, memperkirakan ekonomi nasional hanya bisa bertumbuh 5,1 persen, dan Sulawesi Selatan 7,6 persen. 
Belum kuatnya pertumbuhan ekonomi Kota Makassar juga disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan besar dan eceran, yang selama ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi (engine of growth) Kota Makassar. Padahal ketiga sektor ini memiliki share 55,7 persen terhadap pembentukan PDRB dan menyumbang 53,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Makassar. Oleh karena itu, perlambatan ketiga sektor ini telah memberi tekanan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Kota Makassar. Beruntung, melambatnya pertumbuhan ketiga sektor ekonomi tersebut bisa tertutupi oleh meningkatnya pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi, serta sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan social wajib, dua sektor yang mencatat laju pertumbuhan tertinggi. Pada tahun 2015, kedua sektor ini masing-masing bertumbuh 9,14 persen dan 11,38 persen.
Tahun ini, pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi diperkirakan akan tetap stagnan. Stagnasi di sektor industri pengolahan terjadi karena tidak adanya industri baru, terutama di industri makanan dan minuman, yang selama ini mendominasi struktur industri di Kota Makassar. Sedangkan stagnasi di sektor konstruksi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemangkasan anggaran dan penundaan beberapa proyek infrastruktur oleh pemerintah pusat dan adanya kebijakan peningkatan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang sangat tajam. Khusus yang disebut terakhir, kebijakan ini ternyata sangat kontra-produktif bagi Kota Makassar karena telah mengkontraksi pertumbuhan sektor konstruksi, menurunkan jumlah transaksi di sektor properti, menurunkan penerimaan pajak BPHTB, dan bahkan menaikkan jumlah tunggakan pajak PBB-P2.
Jika dilihat dari sisi permintaan, tampilan perekonomian Kota Makassar juga menarik untuk diamati. Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi domestik (PMTDB). Kedua komponen ini yang telah menggerakkan ekonomi Kota Makassar dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan perdagangan luar negeri dan antar daerah, belum memberi efek positif bagi ekonomi Kota Makassar. Transaksi perdagangan luar negeri dan antar daerah terus menunjukkan defisit yang semakin melebar dari tahun ke tahun. Puncaknya pada tahun lalu (2015), dimana defisit perdagangan Kota Makassar telah mencapai Rp 25,22 trilyun, atau meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2011. Jumlah ini hampir seperempat dari total PDRB Kota Makassar. Situasi ini menjelaskan terjadinya arus keluar sumberdaya yang lebih besar ketimbang yang masuk ke Kota Makassar. Dalam jangka panjang, situasi ini tidak baik bagi perekonomian Kota Makassar.
Meningkatnya konsumsi rumah tangga di satu sisi, dan stagnannya industri pengolahan di sisi lain, menjadi penjelas mengapa defisit perdagangan Kota Makassar terus melebar. Menurunnya tingkat inflasi yang mendorong peningkatan daya beli, telah mempercepat peningkatan permintaan atas komoditas impor. Pada saat yang sama, stagnannya pertumbuhan industri pengolahan, bukan hanya mengurangi kemampuan untuk memenuhi permintaan lokal, tetapi juga mengurangi kemampuan untuk mengekspor barang.
Keseluruhan fakta ini, disamping dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Kota Makassar tidak bisa akseleratif, juga sekaligus menjelaskan mengapa tidak cukup inklusif. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru meningkat di saat pertumbuhan ekonomi sedikit menguat. TPT bergerak naik menjadi 12,02 persen pada tahun 2015, dari sebelumnya 10,94 persen pada tahun 2014. Secara absolut, jumlah pengangguran di Kota Makassar mencapai 71.300 orang atau hampir sepertiga dari total pengangguran di Sulawesi Selatan. Bagaimanapun, sektor industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan besar dan eceran yang merupakan mesin pertumbuhan ekonomi Kota Makassar merupakan sektor penyedia lapangan kerja terbesar. Oleh karena itu, terjadinya perlambatan pertumbuhan ketiga sektor tersebut akan berdampak signifikan terhadap kemampuan perekonomian menyerap tenaga kerja.
Dalam beberapa tahun ke depan, penyediaan lapangan kerja baru bagi para pencari kerja merupakan salah satu tantangan terbesar pemerintah Kota Makassar. Inisiatif pemerintah Kota Makassar untuk mengembangkan Badan Usaha Lorong (BULO) dan mendorong usaha rumah tangga dan industri kecil, patut diapreasiasi. Inisiatif semacam ini bisa memberi dampak ganda, yaitu mengatasi pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan. Kita sisa menunggu bagaimana prakteknya, dan juga hasilnya.
Pilihan-pilihan kebijakan semacam ini, perlu terus dipraktekkan secara intensif oleh pemerintah Kota Makassar. Sebab pengembangan industri rumah tangga, kecil dan menengah di banyak tempat telah terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar karena memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Posisi Kota Makassar yang sangat strategis, didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, dan daya beli masyarakat yang cukup tinggi, sesungguhnya dapat dimanfaatkan kota ini sebagai pusat pengolahan berbagai komoditas – seperti kakao, kopi, beras,  jagung, rumput laut, dll. – yang berasal dari berbagai wilayah di Pulau Sulawesi.
Berbeda dengan TPT, tingkat inflasi di Kota Makassar menunjukkan kinerja yang cukup baik. Tingkat inflasi bergerak turun dari 8,51 persen (2014) menjadi 5,18 persen (2015), dan tahun ini diperkirakan akan berada dikisaran 4,6 persen. Penurunan tingkat inflasi dikontribusi oleh komponen perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar dan terjadinya deflasi pada komponen transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Secara keseluruhan, komponen bahan makanan dan komponen sandang masih menjadi penyumbang terbesar bagi pembentukan tingkat inflasi di Kota Makassar. Bahkan kelompok bahan makanan bukan hanya menunjukkan peningkatan inflasi paling tinggi, tetapi juga paling tidak stabil (menunjukkan volatilitas yang tinggi) dalam lima tahun terakhir.
Tekanan inflasi pada tahun-tahun mendatang diperkirakan masih bersumber dari peningkatan inflasi komponen volatilitas (volatile food) dan inflasi inti (core inflation). Namun rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian tarif dasar listrik dan mencabut subsidi listrik untuk golongan 450 VA dan 900 VA yang dinilai tidak tepat sasaran, juga berpotensi memberi tekanan terhadap tingkat inflasi. Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah Kota Makassar perlu terus memantau pergerakan harga bahan makanan dengan melakukan koordinasi dengan para produsen dan distributor besar untuk memastikan jaminan pasokan. Pada saat yang sama, koordinasi dengan Bank Indonesia juga diperlukan untuk mengendalikan inflasi inti melalui penerapan berbagai instrumen kebijakan moneter. Untuk mengefektifkan koordinasi dimaksud, peran dan fungsi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) juga perlu lebih dioptimalkan.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi Rabu, 30 November