Senin, 19 September 2016

Ketimpangan

BAHAYA KETIMPANGAN

 

 Agussalim 



Peringatan Leslie Brown, seorang Guru Besar Sosiologi dan Antropologi dari Kanada, sangat menarik: “Jangan pernah berharap ada kedamaian, selama masih terjadi ketimpangan.” Mungkin peringatan Leslie Brown boleh jadi benar, sebab di negara-negara yang tingkat ketimpangannya tinggi, peristiwa kriminalitas berlangsung massif. Kriminalitas paling purba, seperti perampokan, pemerkosaan, penodongan, pembegalan, dsb dengan mudah ditemukan di negara-negara yang memiliki kesenjangan tajam antara si kaya dan si miskin. Tindakan kriminalitas umumnya dilakukan oleh mereka yang berada pada kasta terendah dalam hirarkhi distribusi pendapatan. Mereka menyaksikan kemewahan dipertontonkan oleh si kaya di depan mata mereka: sebuah tontonan yang mungkin menyesakkan dada. Tindakan kriminal menjadi jalan pintas untuk turut mencicipi sedikit kemewahan itu. Kehidupan menjadi sangat mencekam, jauh dari kedamaian.
Sesungguhnya, kasus kriminalitas dengan intensitas tinggi, seperti yang terjadi di indonesia saat ini, bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa tersebut memiliki korelasi kuat dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan. Setiap kali terjadi krisis ekonomi misalnya, yang memicu membengkaknya jumlah orang miskin, peristiwa kriminalitas merebak dimana-mana, bahkan di rumah-rumah ibadah sekalipun. Berita kriminalitas menjadi sajian utama setiap hari, tanpa henti. Situasi ini selalu mencekam bagi kelompok pendapatan menengah-atas, yang kerapkali menjadi sasaran (korban) tindakan kriminal.
Saat ini, kita semua patut was-was. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu menunjukkan situasi yang semakin memburuk. Ketimpangan distribusi pendapatan (diukur dengan Indeks Gini) tampak semakin melebar. Bahkan peningkatan ketimpangan sudah berlangsung lama, setidaknya dalam tujuh tahun terakhir. Indeks Gini bergerak naik dengan tajam dari 0,35 pada tahun 2008 menjadi 0,42 pada tahun 2014. Tahun ini, diperkirakan Indeks Gini akan kembali meningkat, seiring dengan membengkaknya jumlah penduduk miskin. Dari hasil kalkulasi BPS, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 28,59 juta orang per Maret 2015, atau lebih besar 3,1 persen (860.000 orang) dibanding September 2014. Persentase penduduk miskin bergerak naik dari 10,96 persen menjadi 11,22 persen pada periode yang sama. Gambaran ini menjelaskan bahwa taraf hidup masyarakat klas bawah semakin memburuk, yang berpotensi menimbulkan implikasi luas bagi tatanan sosial.
Sebagian orang menganggap bahwa ketimpangan adalah sesuatu yang bersifat alamiah. Sesuatu yang akan terus eksis sepanjang sejarah peradaban manusia. Bagi penganut pandangan ini, ketimpangan sudah menjadi hukum alam dan sunnatullah. Orang yang bekerja keras akan memperoleh hasil yang lebih besar ketimbang orang yang bermalas-malasan. Orang yang menduduki jabatan tinggi akan memperoleh pendapatan yang lebih besar ketimbang pegawai rendahan. Orang yang terdidik akan memperoleh balas jasa ekonomi yang lebih besar ketimbang orang yang buta huruf. Ketimpangan menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dan karena itu, tidak perlu dipersoalkan.
Tampak seolah-olah tidak ada yang salah dengan pandangan tersebut. Namun sesungguhnya, ketimpangan seringkali terjadi akibat ketidakadilan sosial. Ketimpangan kerapkalii merupakan hasil dari rekayasa sosial yang memihak satu pihak dan mengabaikan pihak lainnya. Pada titik inilah, ketimpangan patut dan harus dipersoalkan. Mengapa seseorang diberi akses terhadap pendidikan, sementara lainnya tidak. Mengapa seseorang dibukakan jalan untuk menguasai sumberdaya ekonomi, sementara bagi orang lain justru ditutup. Mengapa pemerintah lebih berpihak kepada pasar modern ketimbang pasar tradisional. Mengapa penentu kebijakan lebih melindungi kepentingan pengusaha besar ketimbang pengusaha kecil. Rentetan ketidakadilan sosial semacam ini yang memicu munculnya ketimpangan. Ketimpangan semacam inilah yang harus dikikis, kalau perlu dengan tindakan ekstrim.
Fakta-fakta berikut juga menjadi sumber terjadinya ketidakadilan sosial: orang kaya turut menikmati subsidi; ada pengusaha menguasai lahan jutaan hektar, tetapi pada saat yang sama ada jutaan petani yang sama sekali tidak memiliki lahan; hampir 2/3 anggaran pemerintah dihabiskan untuk belanja birokrasi; super-market berada berhimpitan dengan warung-warung tradisional; pengusaha besar memperoleh kredit tanpa agunan, tapi pelaku ekonomi mikro/kecil tidak pernah bisa memperoleh kredit karena terkendala oleh syarat agunan; dan seterusnya. Ketika seluruh fakta ini dilegalisasi, atau setidaknya dibiarkan oleh pemerintah, maka pertanyaan yang kemudian muncul: apakah pemerintah bersungguh-sungguh untuk mengurangi ketimpangan? Jangan-jangan, kebijakan pemerintah selama ini justru memperlebar kesenjangan.
Bagaimanapun, mengurangi ketimpangan menjadi sebuah keniscayaan. Sebab fakta empiris menunjukkan bahwa harmoni sosial hanya hadir di tengah ketimpangan yang rendah, sekalipun seluruh masyarakat berada dalam kondisi miskin. Dengan kata lain, kehidupan sosial akan lebih harmonis jika distribusi pendapatan lebih egaliter. Kesetaraan menjadi penentu bagi terciptanya kedamaian, terlepas dari apakah kita berada pada taraf hidup yang tinggi atau rendah. Fakta ini yang menjelaskan mengapa kehidupan sosial di perdesaan jauh lebih harmonis ketimbang di perkotaan.
Oleh karena itu, distribusi pendapatan yang lebih merata dan kehidupan yang lebih egaliter, bukan hanya untuk kepentingan mereka yang berada di klas terendah (kelompok miskin) dalam hirarki distribusi pendapatan, tetapi juga mereka yang berada di klas tertinggi (kelompok kaya). Mengapa? Karena kita semua, tanpa kecuali, menginginkan kehidupan yang lebih harmonis, atau lebih tepatnya, kedamaian. Namun secara sosial, kita mengalami paradoks. Meski kita semua lebih menyukai distribusi pendapatan yang lebih egaliter, namun orang-orang kaya justru tidak bersedia “menyerahkan” sebagian kekayaan dan pendapatannya kepada orang-orang miskin untuk mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih egaliter. Orang-orang kaya sangat menginginkan kedamaian, tetapi tidak berusaha untuk mewujudkan kesetaraan, yang merupakan jembatan untuk menuju kedamaian. Sungguh sebuah paradoks.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketimpangan? Jika ketimpangan sudah terlanjur eksis, maka “kebijakan retribusi” merupakan instrumen kunci untuk memperkecil ketimpangan. Di banyak Negara, kebijakan redistribusi yang paling efektif dan ampuh mengurangi ketimpangan adalah redistribusi lahan (land reform), pemberlakuan pajak progressif (progressive tax), dan kebijakan transfer (transfer policy). Dari tiga kebijakan itu, tampaknya di Indonesia hanya signifikan pada kebijakan transfer, melalui pendidikan gratis, kesehatan gratis, pemberian raskin, subsidi pupuk, dsb. Dua kebijakan yang disebut pertama, sama sekali diabaikan. Lalu, jika pemerintah belum pernah mempraktekkan kebijakan yang berorientasi pada pengurangan ketimpangan, mengapa kita tetap berharap ketimpangan akan berkurang?
Norwegia, mungkin bisa menjadi contoh sukses bagi terwujudnya kedamaian dan kesetaraan. Norwegia merupakan salah satu negara dengan GDP per kapita tertinggi di dunia, yaitu mencapai $ 97.363 (2014) – sekitar 25 kali lipat dari Indonesia, namun dengan Indeks Gini hanya 0,258, yang merupakan salah satu angka terendah di dunia. Untuk mewujudkan kesetaraan, pemerintah Norwegia memberlakukan pajak pendapatan individu hingga di atas 50 persen, yang kemudian digunakan sebagai instrumen transfer kepada kelompok pendapatan terendah. Kesetaraan juga memungkinkan tercipta karena perbedaan tingkat pendapatan tertinggi dengan terendah hanya 6 (enam) kali lipat. Artinya, jika Anda bekerja di sebuah lembaga dan menempati posisi puncak, maka Anda hanya menerima gaji enam kali lebih besar dari pegawai yang menerima gaji paling rendah. Kondisi ini yang menyebabkan mengapa Norwegia tampil sebagai negara paling damai dengan tingkat kriminalitas paling rendah di dunia. Peringatan Leslie Brown semakin menampakkan kebenaran. Mungkinkan Indonesia bisa seperti Norwegia? Tampaknya, Anda harus sabar menunggu 100-200 tahun kemudian, itupun tidak ada jaminan pasti.