Kamis, 09 Desember 2021

MENGELOLA APBD

 

MENGELOLA APBD

 

AGUSSALIM

Dosen FEB-UNHAS dan Tenaga Ahli TGUPP Sulsel 

 


Mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bukanlah perkara mudah, setidaknya karena beberapa sebab, yaitu: pertama, banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap anggaran, baik karena motif politik maupun karena alasan yang lebih pragmatis. Secara politik, akses terhadap anggaran seringkali didasari atas keinginan untuk memenuhi kontrak politik atau memuaskan hasrat konstituen guna mendapatkan dukungan publik. Ini dilakukan, baik oleh eksekutif maupun legislatif dan berlindung di balik label “politik anggaran”. Rebutan pengaruh untuk mendiktekan arah anggaran menjadi tak terhindarkan. Selain motif politik, alasan pragmatis juga kerapkali mewarnai pengelolaan APBD dengan memberi akses anggaran kepada tim sukses, relawan, dan kerabat atas dasar balas budi dan menjaga soliditas tim.

Kedua, adanya perbedaan preferensi antar kelompok masyarakat mengenai masalah pembangunan daerah yang seyogyanya mendapat dukungan anggaran. Mengingat besaran anggaran yang tersedia relatif terbatas (ada budget constraint) maka hampir tidak mungkin bisa memenuhi seluruh preferensi tersebut. Aparatur Sipil Negara (ASN) misalnya, lebih menuntut perbaikan kesejahteraan, masyarakat umum lebih menuntut perbaikan kualitas layanan publik, dunia usaha lebih menginginkan ketersediaan infrastruktur, LSM lebih menghendaki perbaikan kualitas lingkungan, dan lain sebagainya, dimana kesemuanya itu membutuhkan dukungan anggaran. Karena adanya budget constraint, maka pengalokasian anggaran bersifat trade-off: memenuhi satu tuntutan, berarti mengabaikan tuntutan yang lain.

Ketiga, banyaknya arahan kebijakan yang bersifat instruksional dan mandatory yang harus mendapatkan alokasi anggaran. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022, disebutkan bahwa Pemerintah Daerah diharuskan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya yang ditimbulkannya dalam bentuk: (i) dukungan program pemulihan ekonomi daerah terkait dengan percepatan penyediaan sarana prasarana layanan publik dan ekonomi untuk meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik; (ii) perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; (iii) dukungan pelaksanaan vaksinasi Covid-19; (iv) dukungan kelurahan dalam penanganan pandemi Covid-19 untuk pos komando tingkat kelurahan; (iv) insentif tenaga kesehatan dalam rangka untuk penanganan pandemi Covid-19; dan (v) belanja kesehatan lainnya sesuai kegiatan prioritas yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 

Pada saat yang sama, Pemerintah Daerah juga diharuskan untuk mengalokasikan anggaran guna pemenuhan fungsi pendidikan, kesehatan, dan insfrastruktur. Di dalam peraturan tersebut jugaditegaskan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan paling sedikit 20 persen dari belanja daerah, anggaran untuk kesehatan minimal 10 persen dari total belanja APBD diluar gaji, dan anggaran untuk infrastruktur pelayanan publik minimal 40 persen dari total belanja APBD diluar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada daerah/desa. 

Arahan semacam ini tentu saja tidak mudah menyiasatinya mengingat hampir seluruh daerah mengalokasikan anggaran untuk belanja pegawai lebih setengah dari total belanja daerahnya, bahkan ada daerah yang mencapai dua per tiga dari total belanja daerahnya. 

Keempat, adanya relasi kuasa (power relationantara eksekutif dengan legislatif dengan latar interest masing-masing. Seringkali interest kedua belah pihak sulit dikompromikan dan biasanya berakhir dengan deal politik. Masalahnya, “kesepakatan” kedua belah pihak kerapkali tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik. Pada akhirnya, relasi kuasa dalam pembahasan APBD hanya melibatkan dua pihak yaitu eksekutif dengan legislatif, sementara masyarakat diabaikan dan tidak disertakan dalam proses. Pembahasan APBD menjauh dari idealisasi relasi trigonal, dimana seharusnya melibatkan eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Itu sebabnya mengapa akronim APBD menggunakan diksi “daerah”,  bukan “pemerintah daerah”.

Masalah pengelolaan APBD menjadi semakin rumit karena adanya tekanan dari sisi pendapatan dan belanja akibat pandemi Covid-19. Di masa pandemi, pendapatan daerah mengkerut cukup signifikan akibat penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pemangkasan Pendapatan Transfer dari pemerintah pusat. Penurunan PAD terjadi karena adanya penurunan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah akibat adanya kebijakan pembatasan aktivitas ekonomi dan sosial.  Sedangkan penurunan Pendapatan Transfer terutama karena adanya pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan berkurangnya Dana Alokasi Khusus (DAK), terutama DAK Penugasan.

Penurunan Pendapatan Daerah tentu saja secara otomatis akan menekan Belanja Daerah. Tekanan menjadi semakin kuat karena pada saat yang sama, pemerintah daerah juga diharuskan untuk melakukan refocusing, realokasi dan rasionalisasi anggaran untuk menangani pandemi. Pada akhirnya, belanja barang dan jasa serta belanja modal terpaksa harus dipangkas untuk dialihkan ke penanganan pandemi, terutama untuk mencegah penularan dan menangani korban. Semua kondisi ini pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kinerja pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan agar pengelolaan APBD dapat lebih optimal? Pertama kali, pemerintah daerah harus tetap fokus pada pemenuhan layanan publik dasar, terutama layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sebaiknya tidak sekedar berhenti di penetapan pagu anggaran, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengarahkan anggaran tersebut untuk mencapai kinerja standar pelayanan minimal (SPM).

Berikutnya, pemerintah daerah perlu menajamkan prioritas pembangunan daerah. Skala prioritas pembangunan daerah mungkin sebaiknya 2 atau 3 saja yang benar-benar memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Anggaran kemudian dikonsolidasikan dan dikonsentrasikan untuk mendukung prioritas tersebut (sesuai dengan prinsip goal oriented). Bersamaan dengan upaya itu, pemerintah daerah perlu merampingkan jumlah program dan kegiatan. Berbagai program dan kegiatan yang tidak terkoneksi dengan prioritas pembangunan daerah sebaiknya dipangkas (mengikuti prinsip money follow program). Perangkat Daerah yang tidak mendukung pencapaian sasaran utama pembangunan daerah, cukup mendapatkan anggaran rutin saja. 

Tidak kalah pentingnya, pemerintah daerah perlu terus memastikan daya serap dan efektifitas anggaran. Daya serap anggaran sebaiknya diupayakan lebih merata disepanjang tahun anggaran dan jangan dibiarkan menumpuk di akhir tahun sehingga menimbulkan kesan sekedar memenuhi tuntutan “menghabiskan anggaran”. Selain itu, harus terus diupayakan agar setiap Rupiah yang dikeluarkan dari Kas Daerah, benar-benar jelas ada hasilnya (memenuhi pendekatan performance based budgeting). Pada saat yang sama, pemerintah daerah perlu terus mengefisienkan belanja daerah. Anggaran perjalanan dinas, belanja makan-minum, dan belanja rutin perkantoran lainnya (biaya operasional mobil dinas, alat tulis kantor, dll.) perlu terus dipantau dan dievaluasi secara berkala.

Terakhir, harus dipastikan bahwa temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada kasus pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan tahun lalu, benar-benar tidak terulang lagi di tahun mendatang. Temuan dimaksud, antara lain, bantuan keuangan yang tidak sesuai dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan di dalam Perda APBD, adanya kekurangan kas (kas tekor) di bendahara pengeluaran di tiga Perangkat Daerah, dan penerimaan pajak yang tidak di setor ke kas negara tapi malah digunakan untuk membiayai kegiatan lain yang tidak ada anggarannya. Ini memberi isyarat bahwa selain memperhatikan subtansi keuangan daerah, masalah administrasi atau akuntansi pengelolaan keuangan daerah juga harus mendapat perhatian serius dan sungguh-sungguh dari pemerintah daerah.

Makassar, 11 November 2021

0 comments:

Posting Komentar